Disruptive Bisnis ala Pasukan Goceng

Model bisnis sekarang ini makin lama makin berkembang. Terkadang model bisnis yang baru dan lebih inovatif ‘mengganggu’ kemapanan bisnis yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun.

Wartel yang pernah booming 20th lalu, terpaksa harus hilang karena terdisrupt makin banyaknya orang memiliki handphone pribadi. Warnet yang dulu berjaya makin sulit berkembang karena terdisrupt bisnis cafe yg memberikan free wifi. Kalau dulu customer datang ke warnet hanya untuk membeli paket internet, sekarang customer membeli snack dan coffee sambil menikmati wifi gratis.

Tapi kali ini kita bukan membahas disruptive bisnis seperti diatas, seperti yang terakhir adalah pertarungan gojek-grabtaxi dkk yang benar-benar mengganggu perusahaan taxi dan ojek yang telah lama eksis. Pertarungan ini selain mendisruptive bisnis yang sudah eksis sebelumnya, ternyata juga mendisruptive undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Nah kalau contoh-contoh diatas adalah bisnis-bisnis besar yang mengganggu bisnis-bisnis besar sebelumnya, kali ini ada contoh yang menarik tentang bisnis-bisnis kecil yang ‘diganggu’ oleh bisnis-bisnis kecil lainnya.

Era socmed dan marketplace yang makin memudahkan semua orang menjual produknya, mau tidak mau mengganggu bisnis offline yang telah eksis sebelumnya. Seorang teman pedagang di tanah abang bercerita bahwa omsetnya makin hari makin turun karena makin banyak orang yang bisa mendapat barang dengan harga murah tanpa harus datang ke tanah abang yang melelahkan.

Para online shooper pemula ini kebanyakan ibu-ibu muda dan mahasiswa yang bermodal dibawah 5 juta dan menjajakan produknya secara gratis di socmednya.

Tak lama para online shooper ‘berjaya’, kini mereka mulai terdisrupt oleh para online shooper lainnya dengan model bisnis yang jauh lebih unik, inovatif dan bahkan tanpa modal! Mereka ini biasa disebut pasukan goceng.

Pasukan goceng ini adalah para pegawai di tanah abang yang sembari menunggu produknya laku terjual, mereka sambil memfoto-foto produk dagangan bosnya, lalu diposting ke instagram, facebook dan socmed lainnya. Hanya dengan mengambil profit Rp 5.000 saja, produk mereka di socmed dan marketplace tentunya lebih murah dan menarik perhatian pembeli. Produknya pun jauh lebih beragam, cepat update berganti model, dan tentu saja tanpa modal.

Karena tanpa modal, untung Rp 5.000/produk tentu saja adalah cuan yang cukup lumayan. Kalau dikumpulkan dalam sebulan, bisa jadi cusn dari sini lebih besar dibanding gaji formilnya dia sebagai penjaga toko tanah abang.

Bagaimana dengan bosnya? Tutup mata aja, karena dengan pola seperti itu toh barangnya juga makin banyak yang terjual, omsetnya bisa naik lagi..

Selamat datang di era disruptive economy…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *