Catatan ringan seputar bisnis, traveling dan komunitas

Menu & Search

Tukang Cukur

Hari ini saya mendapat relasi bisnis baru, sebut saja namanya Pak T. Mantan ABRI yang pensiun dini karena ingin punya usaha sendiri. Dan memang keputusannya untuk pensiun benar, dalam 3 tahun mengembangkan bisnisnya,  sudah tampak hasilnya. Bisnis yang dijalaninya adalah distributor ATK untuk sekolah-sekolah.

Hari itu memang kita berniat melakukan kerjasama pemasaran produk ke sekolah-sekolah karena rencananya Pak T ini mau membuka cabang di Medan untuk pemasaran area Sumatera. Satu hal yang menarik dari diskusi kita siang itu adalah saat Pak T bilang “pokoknya saya tidak mau berbisnis seperti organisasi tukang cukur!”.

Apa maksudnya? Maksudnya dalam berbisnis, semua punya tanggung jawab sendiri-sendiri. Ada bagian marketing, ada bagian sales, ada bagian produksi, dan sebagainya. Lalu hubungannya dengan tukang cukur? Pernah lihat tukang cukur kan? silet, gunting, pengering rambut, sisir semuanya dibawa sendiri. Tidak ada tanggung jawab pekerjaan yang dilimpahkan ke orang lain, karena semua dikerjakan sendiri. Dengan semuanya dilakukan sendiri, sekilas profit yang didapat akan tampak banyak karena semua pendapatan tersebut tak perlu dibagi dengan karyawan. Yang seperti ini biasanya memang bisa dilakukan saat bisnis kita masih kecil, tapi begitu bisnis makin besar jangan sampai rasa serakah seperti itu tetap ada.

Saya jadi ingat kisah seorang teman yang mempunyai usaha produksi donat. Investasinya tidak tanggung-tanggung, hampir 50 juta untuk sewa tempat, beli peralatan, bahan dan sebagainya. Dari awal sampai bisnisnya mulai membesar semuanya dilakukannya sendiri. Mulai dari membuat donat, pemasaran, administrasi hingga mengirim barang-pun dilakukannya sendiri. Menurut teman tadi, dia tidak mencari pegawai karena menurutnya sayang kalau profitnya dibagi dengan si pegawai. Dan akhirnya bisnisnya berjalan di tempat sampai akhirnya tutup.

Tampaknya yang dilakukan teman saya tadi, persis seperti yang saya lakukan sewaktu menjadi programmer freelance. Untuk membuat software sebuah perusahaan bernilai puluhan juta saya kerjakan sendiri. Untuk membuat sebuah software kurang lebih saya membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan. Awalnya sih berpikiran “kalau bisa dikerjakan sendiri, mengapa harus cari pegawai?”.

Waktu terus berlalu, pesanan software makin banyak. Kapasitas otak dalam merangkai kode demi kode rasanya sudah overload. Mau rekrut pegawai untuk membantu mengerjakan project, terpikir lagi besaran jumlah gaji yang bakal dikeluarkan. Dan akhirnya bisnis tersebut saya tutup pada tahun ke-2.

Pelajaran berharga dari seorang tukang cukur.

Related article
Bagaimana cara membuat gerakan donasi yg efektif di kala pandemi ?

Bagaimana cara membuat gerakan donasi yg efektif di kala pandemi ?

Berbagi pengalaman membuat campaign donasi yg efektif untuk kegiatan sosial.…

Rahasia perusahaan-perusahaan berusia panjang

Rahasia perusahaan-perusahaan berusia panjang

Salah satu yg membuat perusahaan2 Jepang bisa bertahan lama hingga…

Sense of Crisis, pelajaran utama dari Pandemi Corona

Sense of Crisis, pelajaran utama dari Pandemi Corona

Belajar memiliki “sense of crisis” itu ternyata mahal banget ya…

Discussion about this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Type your search keyword, and press enter to search