Pada 1974, P&G mengeluarkan produk pembalut wanita bermerk Rely yang akhirnya mampu menguasai pasar hingga 25%. Enam tahun kemudian, ditemukan penyakit toxic shock syndrome pada wanita usia 30-an tahun pada saat menstruasi. Singkat cerita departemen kesehatan USA mensinyalir pernyakit TSS berhubungan erat dengan pemakaian Rely. Untuk tidak memperpanjang masalah sekaligus mempertahankan reputasi, P&G menarik seluruh produk Rely dan tidak memproduksinya kembali.
Sesudah Rely dihentikan produksinya, ternyata ditemukan penyakit TSS pada berbagai negara yang mana perempuannya di negara tersebut sama sekali tidak menggunakan Rely.
Sejarah lain juga mencatat Johnson & Johnson pernah mengeluarkan obat penghilang nyeri merk Tylenol. Pencapaian luar biasa mampu diraihnya hingga menguasai 37% pasar. Namun pada 1982 ditemukan 7 orang di Chicago tewas karena minum Tylenol bentuk kapsul. Selidik punya selidik ternyata ada orang kejam mencampur racun pada kapsulnya. Namun tetap saja Johnson & Johnson menarik semua produknya yg berbentuk kapsul lalu kemudian dengan gencar mengumumkan bahwa produk berbentuk tablet tidak bisa dicampuri racun.
Setahun kemarin tepatnya di 2010, kita semua turut menyaksikan bagaimana Toyota harus menarik 2,3 juta unit mobilnya untuk diperbaiki karena disinyalir ada masalah pada pedal gasnya. Tak selang beberapa lama, Toyota harus kembali menarik 270 ribu mobilnya karena masalah rem. Toyota tak sendirian, ‘saudaranya’ Honda juga demikian. Honda harus menarik 646 ribu mobilnya karena permasalahan pada tombol jendela yang berpeluang menimbulkan percikan api.
Apa yang dilakukan Toyota dan Honda tentu menuai banyak resiko. Resikonya tentu saja penjualan akan merosot dan juga mereka harus mengeluarkan jutaan dolar kocek perusahaan yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki cacat bawaan produknya.
Pertanyaannya, mengapa perusahaan-perusahaan besar tersebut mau mengabarkan kepada dunia bahwa produk mereka bermasalah? tidak lain karena satu hal : REPUTASI!
Reputasi menjadi mantra utama bagi perusahaan untuk selalu mempertahankan pangsa pasarnya, meskipun proses berdarah-darah harus dilakukan. Mirip pepatah kuno ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Biarlah penjualan produk melorot sampai titik nadir. Biarlah biaya yang ditanggung jumlahnya selangit. Namun reputasi menjadi sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Bagaimana kawan, apakah kita sudah mempertahankan reputasi perusahaan kita dengan sungguh-sungguh?