Beberapa bulan terakhir, saya banyak mendapat pertanyaan soal bangunan besar di pertigaan lampu merah kota Malang yang sempat ditutup kain hitam dan hanya menampilkan banner bertuliskan #BakalJadiKeren. Banyak yang penasaran, banyak yang menebak-nebak, dan jujur saja—kami pun menikmati setiap momen spekulasi itu.
Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit berbagi cerita. Bukan untuk mengklaim kesuksesan apa pun, tapi lebih sebagai catatan proses, bahwa dalam membangun brand, ternyata rasa penasaran bisa menjadi jembatan yang sangat kuat antara sebuah tempat dan masyarakatnya.
Semuanya bermula dari sebuah bangunan lama yang kami renovasi total. Letaknya strategis sekali, di sudut kota yang setiap hari dilalui ribuan kendaraan. Kami memutuskan untuk menutup seluruh fasad bangunan selama proses pembangunan, dan hanya menyisakan satu pesan besar: #BakalJadiKeren.
Selama sekitar tujuh bulan, kami membiarkan masyarakat bertanya-tanya. Apakah ini akan jadi kafe? Resto? Toko elektronik baru? Bahkan ada yang menduga hotel atau tempat hiburan malam. Spekulasi itu terus bermunculan di media sosial, dan kami pun memantaunya hampir setiap hari. Kami tidak hanya membaca, tapi juga menganalisis nada komentar, tren positif maupun negatif, dan menjadikannya sebagai bagian dari proses belajar.

Dari sinilah kami makin percaya bahwa strategi yang kami jalankan ini punya nama: Curiosity-Driven Branding. Intinya sederhana, menahan informasi agar audiens terlibat lebih dalam secara emosional. Mereka bukan sekadar melihat, tapi ikut bertanya, menduga, bahkan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang sedang tumbuh.
Kami juga belajar banyak dari brand-brand besar seperti Apple dan Tesla. Mereka kerap menggunakan pendekatan serupa—hanya memberi sedikit bocoran sebelum akhirnya merilis sesuatu yang besar. Strategi ini menciptakan buzz dan membuat publik merasa ikut memiliki rasa penasaran bersama.
Dalam prosesnya, kami merilis video-video pendek yang mengikuti fase pembangunan. Videonya kami buat sesederhana mungkin—tanpa banyak editan, tanpa narasi besar, hanya momen-momen kecil yang terlihat alami. Tapi semua kami siapkan dengan sangat detail. Kami memilih waktu pengambilan gambar saat cahaya sedang indah-indahnya, dan mengatur adegan para tukang bangunan agar tetap terlihat natural.

Kami juga tidak sekadar unggah. Komentar-komentar dari masyarakat kami baca dan responi satu per satu. Ada yang menyoroti kabel listrik, ada yang bertanya soal area parkir, ada juga yang menebak dengan lucu-lucuan. Semua itu kami tanggapi dengan santai dan hangat, karena buat kami, brand ini bukan tentang gedung saja—tapi tentang membangun relasi.
Dan akhirnya, hari pembukaan tiba. The Green Dome resmi diperkenalkan sebagai rumah baru Malang Strudel, dan alhamdulillah, sambutan masyarakat begitu luar biasa. Acara pembukaannya ramai, penuh antusias, dan diliput oleh banyak media—baik lokal maupun nasional. Tapi saya yakin, yang membuat hari itu terasa istimewa bukan hanya karena bentuk bangunannya, tapi karena perjalanan rasa penasaran yang sudah terbangun selama tujuh bulan sebelumnya.

Bagi saya pribadi, The Green Dome adalah bukti bahwa branding tidak selalu soal desain, iklan, atau logo. Kadang, ia tumbuh dari hal-hal yang sederhana—seperti rasa penasaran, keterlibatan, dan sedikit keberanian untuk menahan cerita sampai waktunya tiba.
Terima kasih untuk semua yang sudah ikut dalam perjalanan ini. Kami tidak membangun sebuah gedung, tapi mencoba merangkai sebuah cerita bersama. Dan cerita ini, saya yakin, belum selesai.
Sampai ketemu di The Green Dome. Siapa tahu, kita bisa berbagi cerita lagi di sana.
Green Dome: Cerita di Balik Sebuah Ikon Baru untuk Kota Malang
Beberapa waktu lalu, saya duduk cukup lama memandangi sebuah lahan di pertigaan jalan utama Blimbing. Tempat itu begitu strategis. Di kanan ada pasar tradisional yang hidup dari pagi sampai malam, di seberangnya masjid besar yang ramai jamaah, dan tak jauh di depannya berdiri Malang Creative Center—gedung baru yang melambangkan wajah baru kreativitas kota ini. Dalam hati saya berkata, “Kalau Malang punya satu titik yang bisa mewakili tradisi dan masa depan sekaligus, tempat ini lah salah satunya.”
Dari situlah brainstorming tentang Green Dome dimulai. Saya ingin membangun sesuatu yang lebih dari sekadar outlet ke-10 Malang Strudel tepat di ulang tahun Malang Strudel yeng ke -10 tahun!. Ini bukan hanya soal menambah cabang, tapi tentang menghadirkan sesuatu yang berkarakter. Kami mulai merancang bangunan yang bisa berbicara banyak tanpa harus berteriak: desain kolonial khas Malang tempo dulu, dipadukan dengan nuansa modern yang minimalis dan bersih. Lalu kami tempatkan kubah hijau di ujung atas bangunan—sebagai simbol pusat energi, arah, dan doa. Warna hijau yang kami pilih bukan kebetulan, tapi bagian dari identitas Malang Strudel sejak awal. Hijau yang merepresentasikan kesegaran, kreativitas, dan semangat muda yang terus tumbuh.

Dan ada satu inspirasi besar di balik kubah hijau ini, yang selalu terpatri dalam ingatan saya sejak menunaikan ibadah haji. Saat berada di Madinah, berdiri di hadapan Green Dome yang menaungi makam Rasulullah ﷺ, hati ini bergetar. Kubah itu bukan hanya arsitektur, tapi simbol rasa cinta, kerinduan, dan penghormatan. Dalam skala yang jauh lebih kecil dan konteks yang berbeda, saya ingin Green Dome di Malang ini menjadi simbol yang menghadirkan rasa: tempat yang ketika orang melihatnya, mereka merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar bangunan. Kubah hijau di Madinah adalah penanda spiritual. Green Dome di Malang—semoga—menjadi penanda harapan, kehangatan, dan semangat positif bagi semua yang datang.
Kubah hijau di Madinah adalah penanda spiritual. Green Dome di Malang—semoga—menjadi penanda harapan, kehangatan, dan semangat positif bagi semua yang datang. -DK
Fungsinya pun kami pikirkan dengan sangat hati-hati. Lantai pertama, tentu saja, adalah rumah bagi oleh-oleh khas Malang, termasuk produk-produk UMKM pilihan yang telah kami kurasi. Lantai kedua kami dedikasikan untuk Rumah Daster Malangan, sebuah butik yang menyatukan keanggunan fashion tradisional dalam kemasan yang nyaman dan elegan. Lalu, lantai ketiga bukan untuk toko, tapi untuk komunikasi—ruang terbuka tempat gagasan bertemu, tempat komunitas bisa berdiskusi, menyampaikan aspirasi, bahkan menyusun kolaborasi yang bisa berdampak nyata. Terakhir, di lantai paling atas, kami hadirkan rooftop yang memberi ruang untuk beristirahat sejenak, menikmati pemandangan Malang dari titik strategis yang tenang namun hidup.
Green Dome bukan hanya proyek arsitektural—ini adalah bentuk rasa syukur, refleksi perjalanan kami selama satu dekade membangun Malang Strudel dari nol, dari toko kecil 3×5 meter hingga kini bisa menghadirkan landmark yang (semoga) membanggakan bagi kota ini. Kami tak ingin tempat ini hanya ramai transaksi, tapi juga menjadi tempat orang datang untuk merasa terhubung: dengan kotanya, dengan komunitasnya, dan bahkan mungkin dengan dirinya sendiri. Inilah Green Dome. Sebuah bangunan. Sebuah cerita. Sebuah titik temu yang membawa semangat baru bagi Malang.