Bab 1: Studio Mati
Raka Santoso berdiri di tengah studio yang sunyi, seperti pohon jati tua yang cabang-cabangnya retak di bawah beban musim. Usianya lima puluh lima, tapi pundaknya terasa tua seratus tahun, melengkung oleh bayang masa lalu. Di lantai lima belas gedung yang dulu adalah istana Santos Apparel, Jakarta Pusat, udara dingin menusuk, seperti tangan kenangan yang mencengkeram erat. Lampu LED yang pernah menyala terang kini gelap, kamera-kamera yang dulu hidup kini membatu, dan layar besar di depannya hanya menampilkan angka nol—sebuah cermin kegagalan yang tak berkata. Di luar, Jakarta 2030 berdengung pelan, drone Liora Ventures beterbangan seperti burung besi, meninggalkan jejak di langit malam.
Tangan kanannya memegang mic tua, dingin seperti logam yang lupa panasnya sorotan lampu. Mic itu pernah bernyanyi, menggema bersama tawa pelanggan dan ribuan klik di marketplace. Kini, bisunya adalah simfoni hening yang mengisi ruangan. Di lantai bawah, gudang penuh pakaian tak laku, kain-kain itu bagai reruntuhan harapan yang menanti angin membawanya pergi. Raka membuka dompetnya, menatap foto Arya kecil—senyum polos yang kini jauh di Singapura. Ia tak bertanya keras-keras, hanya memandang wajah itu, dan dalam hati ada getar kecil, seperti daun yang jatuh di air tenang.
Tiba-tiba, kenangan 2025 menyelinap masuk, membawanya ke masa ketika studio ini adalah jantung yang berdetak kencang—kerajaan fashion yang tak tertandingi. Santos Apparel, benih yang ia tanam dari nol, menjulang megah, lima puluh studio live bernyanyi sepanjang hari di seluruh negeri. Teknologi augmented reality membawa pelanggan ke runway Paris dari layar ponsel, host-host menciptakan kehidupan di balik kaca digital. Setiap hari, marketplace dipenuhi ribuan mata, jari-jari menari di tombol beli, jutaan transaksi mengalir seperti sungai emas. Pesaing hanya bisa menatap dari tepi, iri pada pohon yang menaungi hutan industri.
Di mall-mall Jakarta, pelanggan berdesakan di booth Santos, mencoba baju virtual dengan senyum lebar, membawa pulang kantong kertas yang kini hanya gema. Trofi berkilau menghias dinding kantor: “Best Fashion Innovator”, “Top Brand Award” tiga tahun berturut, “Most Trusted Brand”—bintang-bintang di langit Santos. Raka, sang pemimpi, merajut model hybrid online-offline, gudang dan toko di 60 kota besar, mesin logistik cerdas mengirim paket dalam sekejap. Ekspansi itu adalah sungai emas, menjadikan Santos raksasa yang tak tersentuh badai.
Kampanye “Fashion for Future” menggema, menggaet Gen Z dengan AR dan drone pengantar, menciptakan pengalaman yang hanya milik mereka. Santos adalah burung yang terbang tinggi, tak gentar pada langit luas. Tapi di 2030, burung itu jatuh. Raka melangkah ke jendela, menatap drone Liora melesat, logo mereka berkilau seperti pisau yang memotong mimpinya. “Di mana mereka bersemayam?” gumamnya, suara kecil yang hilang di angin malam.
Ia duduk di kursi tua, tangan mengusap meja kayu yang penuh goresan. Layar holografik menari dengan garis merah—penjualan runtuh, pelanggan berpaling. “Aku sudah mencoba,” bisiknya, seperti kapten kapal yang kehilangan arah. Kenangan 2026 muncul samar—Arya di sudut studio, matanya penuh api, menawarkan ide yang kini terasa jauh. Raka tak mendengar, dan Arya pergi. Kini, luka itu adalah air yang menggerus akar pohonnya.
Matahari terbenam, oranye memudar di balik gedung tua. Raka menatap langit, pikiran terbang ke Arya—harapan yang ia lepaskan. Studio ini adalah makamnya, tapi di sudut jiwa, ada pijar kecil—seperti tunas yang menanti hujan. Ia meninggalkan mic di meja, melangkah keluar, seperti pohon yang menyerahkan daun terakhirnya pada angin malam.
Bab 2: Pohon Runtuh
Raka duduk di sudut kafe tua di Jakarta, dindingnya retak seperti kulit pohon yang kehilangan daunnya. Layar holografik di depannya menyala redup, memantulkan wajah-wajah teman-temannya—Arman, Haryo, dan Sita—yang terpencar di berbagai kota, terhubung melalui jaringan virtual yang dingin. Cahaya layar itu seperti kabut tipis yang menyelimuti hutan tua, memperlihatkan bayang-bayang pohon-pohon yang dulu gagah, kini roboh tersapu angin teknologi yang tak kenal ampun. Di tahun 2030, Jakarta berdengung dengan suara drone dan mobil otonom, tapi di kafe ini, sunyi terasa seperti doa yang terputus di tengah malam.
Arman, yang pernah menanam gedung-gedung pencakar langit seperti pohon jati di tanah subur, kini menunduk, matanya redup seperti daun yang terlepas dari dahan. “Bisnisku mati, Raka,” katanya, suaranya serak seperti angin yang mengikis batu. “Gen Z dan Alpha tak lagi butuh apartemen megah. Mereka pilih co-living yang dikendalikan AI, ruang kecil yang bicara pada mereka, drone yang antar segalanya. Gedung-gedungku kini seperti makam yang terlupakan, berdiri kosong di tengah kota yang tak pernah tidur.” Flashback ke 2026 melintas di benak Raka: Arman tersenyum bangga di atas podium, merayakan proyek barunya, sementara Raka mengangguk yakin bahwa dunia tak akan berubah. Kini, Arman hanyalah bayang-bayang yang pudar, pohon yang kehilangan akarnya.
Haryo, yang dulu menyalakan ratusan dapur dengan aroma masakan yang menggoda, menatap layar dengan pandangan kosong. “Restoranku sepi, Raka,” bisiknya, suaranya pecah seperti kayu yang terbakar perlahan. “Mereka pesan makanan dari ghost kitchen, dikirim drone dalam hitungan menit. Aku coba live cooking, tapi Gen Z bilang itu kuno, tak ada yang peduli pada tangan yang memasak lagi.” Raka teringat malam di tahun 2026, saat ia dan Haryo duduk di salah satu restorannya, tertawa sambil menikmati sup iga yang mengepul. Dapur itu kini dingin, seperti pohon yang daunnya tersapu badai, meninggalkan cabang-cabang telanjang yang tak lagi bernyanyi.
Sita, yang pernah menjadi ratu dunia digital dengan senyuman yang memikat jutaan pengikut, menangis pelan di ujung layar. “Klienku pergi, Raka,” katanya, air matanya jatuh seperti hujan yang membasahi tanah gersang. “Mereka pilih AI-generated content, wajah sempurna yang tak pernah tua, kata-kata yang dirancang algoritma. Aku seperti pohon yang daunnya kering, tak ada lagi yang mau berteduh di bawahku.” Raka mengingat 2027, saat Sita mengundangnya ke pesta peluncuran kampanye besar, penuh lampu sorot dan tepuk tangan. Kini, sorot itu padam, dan Sita hanyalah bayang-bayang yang mencoba bertahan di tengah angin yang tak ia pahami.
Raka terdiam, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang tahu badai telah merenggut segalanya. Layar holografik di tangannya menunjukkan grafik Santos Apparel yang merah membara, penjualan yang anjlok seperti daun-daun yang jatuh di musim kemarau. Bisikan teman-temannya menggema di telinganya, seperti angin yang membawa pergi sisa-sisa harapan. Ia teringat Arya, anaknya di Singapura, yang pernah memohon agar Santos merangkul AI. Raka menolak, yakin pohonnya tak akan goyah. Kini, penyesalan itu seperti akar yang mencengkeram dadanya, rapuh namun menyakitkan.
Mereka semua pernah berdiri di puncak, lima tahun lalu, di kafe yang sama. Arman merencanakan gedung baru, Haryo membuka cabang ke-100, Sita menandatangani kontrak jutaan dolar, dan Raka memamerkan studio live Santos yang ramai penonton. Mereka tertawa, gelas-gelas berdenting, yakin pohon-pohon mereka akan terus menjulang. Tapi di 2030, badai Liora Ventures datang, menyapu pasar dengan NeuroStyle AI dan drone cepat. Raka dan teman-temannya hanyalah pohon-pohon yang roboh, ditinggalkan di hutan yang tak lagi mengenal mereka.
“Kita salah, Raka,” kata Arman, suaranya seperti daun yang jatuh perlahan. “Kita terlalu yakin. Kita tak lihat angin baru yang datang.” Haryo mengangguk, “Mungkin kita terlalu tua. Mungkin kita harus biarkan tunas baru tumbuh.” Sita menambahkan, “Tapi aku tak tahu bagaimana melepaskan, Raka.” Raka menatap mereka, seperti melihat cermin yang memantulkan lukanya. “Kita semua salah,” katanya, suaranya pelan namun berat. “Kita pikir hutan ini milik kita selamanya, tapi anak-anak kita—mereka yang kini menanam pohon baru.” Di dalam hatinya, ada getar kecil, seperti akar yang mencari tanah subur.
Layar holografik padam, meninggalkan Raka sendirian di kafe tua. Di luar, Jakarta terus berdengung—drone Liora melayang, lampu kota berkelip. Raka berdiri, melangkah keluar, jaketnya terseret angin malam. Ia seperti bayang-bayang yang mencari tempat berteduh di hutan teknologi yang tak ia kenali. Di kejauhan, ia mendengar bisikan masa lalu—suara Arya yang ia abaikan—dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada Tuhan, “Apa yang harus kulakukan sekarang?”
Bab 3: Bayang-Bayang Musuh Tak Dikenal
Raka duduk di penthouse-nya yang sepi, dikelilingi jendela kaca besar yang memamerkan gemerlap Jakarta 2030. Cahaya kota menyelinap masuk, menciptakan ilusi lautan lampu yang tak pernah padam, seperti kunang-kunang yang tersesat di hutan beton. Di atas meja kayu tua, layar holografik berkedip pelan, menandakan pesan yang belum dibuka. Di luar, drone Liora Ventures melayang di angkasa, seperti mata yang tak pernah lelah mengintai. Raka menatap layar itu dengan tatapan lelah, tahu bahwa apa yang menantinya adalah bayang-bayang yang selama ini ia hindari.
Dengan gerakan lambat, ia mengusap dahi, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka pesan itu. Jari-jarinya menyentuh layar, dan huruf-huruf dingin muncul: “Penawaran Pembelian Santos Apparel dari Liora Ventures.” Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang dipukul di malam sunyi, tapi di lubuk hatinya, ia tahu ini adalah langkah yang tak terelakkan. Santos, pohon yang ia tanam dari benih kecil, kini menjadi incaran musuh yang tak ia kenal wajahnya. Ia menutup mata sejenak, napasnya berat, seperti pohon tua yang merasakan kapak mendekat.
Raka bukan orang asing dengan nama Liora Ventures. Dalam beberapa tahun terakhir, ia mendengar bisik-bisik tentang mereka—sebuah startup tanpa wajah yang muncul dari kegelapan, menguasai industri fashion dengan NeuroStyle AI dan micro-factories. Tapi yang lebih menusuk dadanya adalah pola mereka: Liora tak hanya bersaing, mereka membeli perusahaan-perusahaan besar yang pernah bertahta. Ia teringat Arman, sahabatnya yang menjual bisnisnya pada 2027 setelah utang menumpuk. “Tawaran mereka seperti tali penyelamat yang mencekik,” kata Arman saat itu, suaranya penuh luka.
Sita dan Haryo juga tak luput. Sita, ratu konten digital, kini menjadi bagian dari mesin pemasaran Liora setelah perusahaannya jatuh. Haryo, yang pernah menguasai streetwear, menyerahkan mereknya dan kini mengelola lini kecil di bawah bayang Liora. Satu per satu, teman-temannya lenyap dari peta, seperti daun-daun yang tersapu angin musim gugur. Dan kini, di layar itu, giliran Raka yang dipanggil untuk menyerah. “Mereka seperti hantu,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kota.
Ia membaca email itu perlahan, setiap kata seperti duri yang menancap lebih dalam:
Kepada Bapak Raka Santoso,
Setelah mengevaluasi kondisi Santos Apparel dan peluang di pasar saat ini, Liora Ventures mengajukan penawaran untuk membeli perusahaan Anda secara penuh. Dengan teknologi dan jaringan kami, kami yakin dapat membawa Santos Apparel ke era baru. Tawaran ini mencerminkan nilai wajar berdasarkan kondisi keuangan Santos saat ini. Kami harap Anda mempertimbangkan proposal ini dengan serius.
Hormat kami,
Rian Arifianto
CEO, Liora Ventures
Raka menatap nama itu—Rian Arifianto—tanpa wajah, tanpa bayang yang jelas. Siapa dia? Seorang anak muda yang entah dari mana, atau bayang-bayang yang diciptakan mesin? Ia berdiri, berjalan ke jendela, menatap kota yang tak pernah istirahat. Drone Liora melintas lagi, lampunya berkedip samar, seperti tanda bahwa mereka ada di mana-mana namun tak terlihat.
“Mereka tak punya wajah,” bisiknya, suaranya tenggelam dalam gemuruh Jakarta. Dulu, ia tahu setiap musuhnya—nama mereka, wajah mereka, bahkan kelemahan mereka. Tapi Liora adalah asap, menyebar tanpa bentuk, merenggut tanpa suara. Tawaran itu seperti pisau bermata dua: menerimanya berarti menyelamatkan Santos dari kehancuran total, tapi juga menghapus warisan yang ia bangun dengan tangannya sendiri. Menolaknya? Hanya akan mempercepat akhir yang sudah di depan mata.
Malam semakin larut, dan Raka duduk kembali, menatap layar holografik yang masih menyala. Matanya tertuju pada kata “era baru”—janji yang terdengar manis tapi beracun. Ia tahu, keputusan ini akan menentukan nasib Santos, dan nasibnya sendiri. Liora telah datang, seperti bayang-bayang yang tak bisa disentuh, dan untuk pertama kalinya, Raka merasa seperti burung yang sayapnya patah, menatap langit yang tak lagi miliknya.
Bab 4: Disrupsi Senyap
Raka Santoso duduk di ambang jendela penthouse-nya yang menjulang tinggi, matanya menyelami lautan cahaya Jakarta yang tak pernah redup. Lampu-lampu kota berkilau seperti kunang-kunang yang tersesat di antara menara-menara beton, menyisakan ilusi kehidupan yang abadi. Di tangannya, secangkir kopi tergeletak dingin, uapnya telah lama sirna, mirip harapan yang perlahan terkikis waktu. Di sudut meja kerjanya, layar holografik berkedip lembut, mengisyaratkan pesan baru yang belum disentuhnya. Di kejauhan, drone-drone Liora Ventures melayang anggun di langit malam, membawa paket-paket kecil yang kini menggantikan segala yang pernah ia rintis dengan darah dan keringat.
Dengan langkah pelan, ia bangkit dan mendekati meja. Jarinya menyentuh layar, membuka pesan itu. Sebuah email dari Liora Ventures terpampang di hadapannya, singkat dan tajam seperti pisau: “Penawaran Pembelian Santos Apparel.” Raka memejamkan mata sejenak, jantungnya berdetak kencang, seolah pohon tua dalam dirinya merasakan topan yang mendekat. Malam ini, ia tahu, adalah titik tanpa pulang—saat di mana mahkota pohon yang pernah menaunginya menjadi kayu bakar bagi yang lain.
Pikiran Raka melayang ke tahun 2025, masa ketika Santos Apparel berdiri gagah sebagai raksasa yang tak tertandingi. Pabrik-pabrik besar berderet di pinggiran Jakarta, mesin-mesin raksasa mengaum tanpa henti, dan gudang-gudang penuh sesak dengan pakaian yang siap menggenggam pasar. Ribuan karyawan bergerak seperti pasukan semut, dan Raka adalah rajanya—berdiri di puncak dengan senyum lebar, diterangi sorot lampu dunia. Ia bukan sekadar pengusaha; ia adalah bintang. Wajahnya menghiasi majalah, suaranya menggema di seminar, bahkan layar Times Square pernah menampilkan pesonanya. Ketika ia berbicara, pasar mendengar. Ketika ia melangkah, tren mengejar. Santos Apparel bukan hanya merek—itulah lagu yang dinyanyikan jutaan hati.
Namun kini, di tahun 2030, pohon itu telah layu. Liora Ventures datang bagai angin siluman, merenggut segalanya dengan cepat dan senyap. Mereka tak memiliki pabrik megah, gudang mahal, atau ribuan pekerja. Liora adalah bayangan yang menari di balik layar, mengandalkan jaringan mitra yang tersebar di setiap sudut kota. Mitra-mitra itu membeli mesin fabrikasi compact—pabrik mini yang mampu menciptakan pakaian dalam hitungan menit, dikendalikan oleh kecerdasan buatan mutakhir. Mesin-mesin kecil itu bersemayam di ruko-ruko sederhana atau garasi rumah, tak lebih besar dari lemari, namun menghasilkan karya dengan presisi sempurna. Dua orang operator sudah cukup; sisanya diserahkan pada robot-robot yang tak pernah mengenal lelah.
Raka kembali menatap layar holografik, membaca laporan dari asistennya, Mira: “Liora tidak bergantung pada infrastruktur fisik besar. Mereka memanfaatkan teknologi rantai pasok berbasis cloud dan pengantaran drone, memotong biaya logistik konvensional.” Ia menghela napas panjang, merasakan betapa kuno dirinya di era ini. Dulu, Santos Apparel harus menopang ribuan karyawan, menyewa gudang-gudang mahal, dan bergulat dengan kemacetan Jakarta yang menyabotase pengiriman. Liora, sebaliknya, bergerak lincah seperti angin—tanpa beban, tanpa suara, tanpa jejak.
Yang lebih mengusik Raka adalah misteri di balik Liora. Di masa kejayaannya, pemilik perusahaan adalah selebriti—berpidato di panggung megah, wajah mereka menghias sampul majalah, kisah mereka menginspirasi dunia. Raka pernah menjadi salah satunya. Tapi Liora tak punya wajah. Tak ada CEO karismatik yang tersenyum di media, tak ada wawancara penuh hikmah di seminar bisnis. Di situs web mereka, alamat kantor hanya mencantumkan sebuah ruangan kecil di gedung perkantoran mewah Jakarta—kotak sepatu yang tak mungkin menjadi jantung perusahaan raksasa. Wartawan pernah menyambangi tempat itu, namun hanya menemukan pintu terkunci dan meja kosong. Liora adalah pohon dengan akar tersembunyi, mencengkeram erat namun tak terlihat.
Raka meraih ponselnya, membaca analisis panjang dari seorang pakar bisnis. “Liora memanfaatkan AI prediktif untuk meramal tren fashion dengan akurasi 95%,” tulis artikel itu. “Rantai pasok berbasis cloud memungkinkan produksi sesuai permintaan, mengurangi limbah dan biaya.” Semua terdengar logis, namun ada yang hilang: sentuhan manusia. Tak ada kisah perjuangan, tak ada cerita kegagalan yang membentuk jiwa, tak ada wajah di balik angka-angka itu. Liora adalah mesin sempurna—dingin, tak berjiwa, dan tak membutuhkan pengakuan.
Ia teringat masa ketika bisnis masih tentang hati. Di tahun 2025, Raka mengenal setiap desainer di studionya, menyapa pelanggan di toko, dan menulis surat terima kasih untuk karyawan setianya. Santos Apparel adalah keluarga, dan ia adalah patriark yang penuh kebanggaan. Kini, Liora adalah entitas tanpa nama—hanya algoritma yang berbisik, sistem yang berdengung, dan keberhasilan yang tak meminta sorak sorai. Raka merasa kecil, seperti pohon tua yang tersisih oleh tunas-tunas baru tanpa identitas.
Di luar, sebuah drone Liora melintas, mengantarkan paket pada pelanggan yang tak peduli siapa pengirimnya. Raka memejamkan mata, merasakan ironi yang menusuk. Dulu, ia adalah pusat perhatian; kini, ia hanya penonton di panggung yang telah berpindah tangan. Liora adalah bayangan yang bergerak cepat, meninggalkan kisah-kisah lama seperti reruntuhan yang diterpa angin. Untuk pertama kalinya, Raka merasa dunia ini bukan lagi milik manusia—melainkan milik sesuatu yang lebih besar, lebih dingin, dan tak kasat mata.
Ia melangkah kembali ke jendela, menatap kota yang kini dikuasai drone-drone Liora. Salah satunya melayang dekat, logo Liora di sisinya berkilau samar. “Mereka ada di mana-mana,” gumamnya, suaranya hilang dalam gemuruh kota. “Tapi tak ada yang tahu siapa mereka.” Itulah yang menggerogoti pikirannya. Di masa lalu, pemilik perusahaan adalah ikon—bercerita di panggung, wajah mereka menjadi simbol, kisah mereka membakar semangat. Raka pernah menjadi salah satunya. Tapi Liora adalah teka-teki tanpa jawaban, tak membutuhkan sorot lampu atau tepuk tangan.
Dengan gerakan pelan, ia menutup layar holografik, membiarkan kegelapan menyelimuti ruangan. Raka duduk di kursinya, mendengar detak jantungnya yang berdentum lembut seperti gema di kejauhan. “Aku akan menemukanmu,” bisiknya pada bayangan tak terlihat itu, tekadnya menyala seperti bara kecil di tengah badai. Namun di lubuk hatinya, ia tahu ini baru permulaan—dan Liora Ventures bukan lawan yang akan menyerah dengan mudah.
Malam terus merangkak, dan di luar, drone-drone Liora masih menari di angkasa, mengantarkan mimpi-mimpi baru bagi kota yang tak pernah tidur. Raka memejamkan mata, membiarkan keheningan membungkusnya seperti kain usang. Besok, ia akan melangkah lebih jauh, mencari celah di antara bayang-bayang itu.
Bab 5: Ambang Hancur
Studio live Santos yang dulu berdengung dengan kehidupan kini sunyi seperti makam yang ditinggalkan. Raka berdiri di tengahnya, tangannya meraba meja kontrol yang dingin, jari-jarinya menyentuh tombol-tombol yang kini tak berguna. Layar besar di depan ruangan menunjukkan kehampaan—seperti mata yang kehilangan cahaya, memantulkan kegelapan yang menyelimuti hatinya. Di luar, Jakarta 2030 terus berdenyut, drone Liora Ventures beterbangan seperti burung besi yang tak kenal lelah, membawa dunia yang tak lagi miliknya. “Ini adalah jantung Santos,” gumamnya, suaranya serak seperti daun kering yang terinjak, “dan kini, jantung ini telah berhenti.”
Raka melangkah ke gudang di lantai bawah, pintu besinya berderit pelan saat ia membukanya. Di dalam, tumpukan pakaian menumpuk tinggi, kain-kain itu seperti daun-daun yang gugur, menanti untuk disapu oleh angin yang tak kunjung datang. Cahaya lampu redup menerobos celah-celah, memantul pada warna-warni yang dulu penuh cerita, kini hanya bisu. “Aku pikir ini adalah masa depan,” bisiknya, matanya memandang stok yang kini jadi beban. Ia mengangkat sehelai kain—sutra halus yang pernah jadi kebanggaan—lalu melepaskannya, membiarkannya jatuh seperti harapan yang tak lagi ia pegang.
Kembali ke studio, ia mencoba menyalakan layar holografik, wajahnya muncul di sana, tersenyum kaku sambil memamerkan koleksi terbaru Santos. Tapi tak ada yang menonton—marketplace sepi, seperti sungai yang mengering di musim kemarau. Liora Ventures selalu menang, dengan AI prediktif yang meramal tren lebih cepat, micro-factories yang mencetak baju dalam hitungan menit, dan drone yang mengantar dalam sekejap. Santos, dengan studio live dan gudang penuh stok, terasa seperti kapal tua yang karam di lautan digital, tak mampu mengejar angin baru.
Dengan langkah berat, Raka duduk di kursi host yang dulu ramai. Ia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat membuka panggilan hologram ke Arya di Singapura. Layar berkedip, menunjukkan wajah Arya yang sibuk, matanya tertuju pada sesuatu di luar pandangan. “Arya, ini Ayah,” katanya, suaranya penuh harap yang rapuh. “Santos… Santos hampir habis.” Arya menoleh sebentar, wajahnya tegang. “Ayah, aku sedang rapat. Aku hubungi nanti,” jawabnya singkat, dan layar padam. Raka menatap kekosongan itu, hati seperti daun yang tersapu angin dingin, terombang-ambing tanpa tujuan.
Kenangan 2026 melintas samar di benaknya. Arya, masih muda dengan mata penuh semangat, berdiri di studio ini, tangannya menunjuk layar kecil penuh data. Ia pernah menawarkan harapan, tapi Raka mengusirnya dengan amarah, yakin Santos tak butuh perubahan. Arya pergi, dan Raka membiarkan, terlalu tinggi di atas pohonnya untuk melihat badai yang mendekat. Kini, badai itu telah merenggut segalanya, dan luka itu seperti air yang menggerus akar yang tersisa, meninggalkan pohonnya rapuh di ambang kehancuran.
Raka bangkit, berjalan ke jendela studio. Di luar, drone Liora melintas, logo mereka berkilau seperti tanda kemenangan yang tak terbantahkan. “Mereka ada di mana-mana,” bisiknya, suaranya tenggelam dalam gemuruh kota. Mira, asistennya, duduk di sudut, tablet di tangannya menunjukkan angka-angka merah yang tak bisa disembunyikan. “Mira, apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya, suaranya lemah seperti pohon yang menanti akhir. Mira mengangkat wajah, matanya redup. “Pak, kita sudah coba segalanya. AR live commerce, promosi—Liora terlalu cepat.” Raka mengangguk, tahu usahanya hanya angin yang berlalu.
Ia kembali ke meja kontrol, menatap layar yang gelap. “Aku pikir ini benteng kita,” gumamnya, seperti kapten yang kehilangan kapalnya. Di dalam hatinya, ada getar kecil—seperti tunas yang mencoba bertahan di tanah gersang. “Mungkin masih ada cara,” bisiknya, tapi suara itu lemah, tenggelam dalam gemuruh penyesalan. Ia menutup mata, membiarkan hening studio menyelimutinya seperti kain tua yang usang, menanti malam membawanya lebih dalam ke kegelapan.
Jakarta di luar jendela terus bergerak, tak peduli pada pohon tua yang meratap. Lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang tak ia raih, dan suara drone Liora seperti nyanyian asing di telinganya. Raka membuka mata, menatap refleksi wajahnya di layar mati—wajah penuh keriput, penuh luka, seperti kulit pohon yang diterpa angin terlalu lama. “Aku sudah tua,” bisiknya, “dan dunia ini terlalu cepat.” Tapi di balik bisikan itu, ada sesuatu yang masih hidup—seperti akar yang mencari celah kecil di antara reruntuhan.
Bab 6: Nadir
Malam itu, Jakarta terbungkus dalam selimut dingin yang tak biasa, seolah angin malam ikut berbisik tentang luka yang tak terucap. Raka duduk di tepi ranjang, tubuhnya membungkuk seperti pohon tua yang menyerah pada badai. Di tangannya, sebuah bingkai foto digital memproyeksikan gambar Arya, anak tunggalnya, tersenyum di bawah pohon oak besar di kampus Stanford University. Cahaya lembut dari proyeksi itu menari di wajahnya, menyisakan bayangan yang memanjang di lantai kayu gelap. Di luar, lampu-lampu kota berkedip seperti bintang buatan, tetapi di dalam penthouse ini, segalanya terasa mati—terperangkap dalam keheningan yang menusuk hingga ke tulang.
“Apa aku pernah benar-benar mengenalmu, Arya?” gumamnya, suaranya serak, nyaris hilang ditelan udara yang dingin. Matanya tertuju pada senyum Arya di foto itu, senyum yang kini terasa asing. Pikirannya melayang ke tahun 2026, malam ketika Arya berdiri di ruang tamu, matanya berbinar penuh harapan. Ia menawarkan ide tentang masa depan Santos, tapi Raka memotongnya dengan nada dingin, seperti kapak yang menebas tunas muda. Arya menunduk, lalu pergi—ke Singapura, ke Amerika, ke dunia yang tak lagi menyentuh bayang ayahnya. Kini, jarak itu adalah lautan yang tak bisa diseberangi, dan Raka tahu, tangannya sendiri yang menarik garis di antara mereka.
Lalu ada Lila, istrinya, angin sepoi yang menjaga api keluarga mereka tetap hangat. Ketika kanker merenggutnya saat Arya masih di SMA, Raka tenggelam dalam lautan pekerjaan, membangun Santos menjadi raksasa dengan tangan besi. Arya memilih menutup diri, mencari pelarian dalam buku dan mimpi yang tak pernah ia ceritakan lagi. Panggilan telepon yang dulu penuh tawa menjadi singkat, kaku, seperti tali yang perlahan putus. Setahun lalu, Arya berkata, “Ayah sibuk,” nadanya datar seperti permukaan danau yang tak bergerak. Raka tak menjawab, tak tahu harus berkata apa, dan sambungan terputus, meninggalkan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya.
Raka meletakkan bingkai itu di meja samping ranjang, jari-jarinya gemetar seperti daun yang menanti akhir musim. Ia bangkit, berjalan pelan menuju jendela besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit. Di luar, Jakarta terhampar seperti lukisan yang tak pernah selesai—terang, ramai, namun kosong bagi matanya. “Mungkin aku bukan ayah yang kau inginkan,” bisiknya, napasnya membentuk embun kecil di kaca dingin. Ada dorongan kecil di dalam dadanya untuk mengangkat telepon, untuk mendengar suara Arya, tapi kata-kata itu seperti pasir yang lolos dari genggamannya.
Ia teringat malam ketika Santos masih menjulang tinggi, tahun-tahun ketika studio-studio live menyanyi tanpa henti, dan trofi berkilau di dinding kantornya. Tapi di balik gemerlap itu, ia kehilangan sesuatu yang lebih berharga—waktu bersama Arya, waktu bersama Lila. Santos menjadi benteng yang ia bangun dengan tangan kosong, tapi benteng itu kini ambruk, meninggalkan puing-puing yang tak bisa ia raih lagi. “Aku pikir aku membangun warisan,” gumamnya, suaranya tenggelam dalam hening, “tapi aku kehilangan akarnya.”
Malam itu, Raka tak tidur. Ia kembali ke ranjang, duduk dengan pundak terkulai, menatap proyeksi wajah Arya yang masih tersenyum di bingkai itu. Hening menyelimutinya seperti kabut tebal, dan di dalam hatinya, ada pertanyaan yang tak terucap: apakah masih ada jalan kembali? Di luar, drone Liora Ventures melintas, suaranya seperti bisikan asing yang menertawakan kegagalannya. Besok mungkin membawa harapan, atau mungkin hanya penyesalan yang lebih dalam. Untuk saat ini, ia hanya bisa merasakan batu besar bernama rindu yang mengganjal di dadanya, tak bergerak, tak hilang.
Bab 7: Panggilan Hening
Hari-hari di Santos Apparel pernah berlalu seperti angin yang membelai dedaunan, lembut di permukaan, tetapi mengguncang akar di kedalaman. Raka berdiri di sudut studio yang kini sunyi, bayang-bayang masa lalu menari di dinding-dinding kosong. Pikirannya terbang ke tahun 2025, saat Arya—anaknya yang baru pulang dari kuliah—melangkah masuk ke ruangan ini, membawa semangat yang membara. Ia datang seperti pelancong dari negeri jauh, peti penuh harta di tangannya: kecerdasan buatan, prediksi tren, optimalisasi rantai pasok. Di matanya, Santos adalah kanvas luas menanti sapuan warna modern. Tapi bagi Raka, Santos adalah pohon tua yang telah bertahan badai selama tiga puluh lima tahun—tak perlu cabang baru, cukup akar yang dalam.
Setiap rapat menjadi gelanggang tanpa darah, hanya kata-kata yang mengiris dan tatapan yang saling bertubruk. “Ayah, dunia berubah,” kata Arya suatu hari, duduk di ujung meja panjang, tangannya memegang tablet penuh angka. “AI bisa membaca pola yang tak kita lihat, membuat keputusan lebih cerdas.” Matanya berbinar seperti bintang di langit gelap, penuh keyakinan. Raka menatapnya, alisnya berkerut, tangannya mengepal di atas kayu mahoni tua. “Kau terlalu muda, Arya,” jawabnya, nadanya tegas seperti angin yang menolak daun bertunas. “Kau belum tahu betapa rapuhnya bisnis ini. Cara kita sudah cukup—studio live, desainer kita, itu yang membuat Santos berdiri.”
Pertarungan itu tumbuh seperti bayang-bayang di bawah matahari sore, memanjang dan menggelap. Arya ingin Santos melangkah ke masa depan, membawa angin baru yang ia pelajari dari buku-buku dan kuliah-kuliahnya. Raka bersikeras menjaga pijakan di masa lalu, yakin bahwa pohonnya tak akan goyah. Tim dan karyawan terperangkap di antara mereka, seperti burung yang bingung memilih sarang. Ada yang terpikat oleh visi Arya—data yang bicara, mesin yang berpikir—dan ada yang setia pada Raka, percaya intuisi manusia adalah nyawa perusahaan. “Kita seperti kapal dengan dua nahkoda,” keluh seorang karyawan senior di sela kopi pagi, suaranya lirih namun penuh makna.
Konflik itu mencapai puncaknya di penghujung tahun 2025. Rapat-rapat berakhir dengan hening yang mencekam, produktivitas merosot, dan semangat tim layu seperti bunga yang kekurangan air. Hingga suatu sore, Arya melangkah ke ruangan Raka, langkahnya mantap, wajahnya penuh tekad. “Ayah, aku mundur dari Santos,” katanya, suaranya tenang namun mengguncang seperti petir di kejauhan. Raka terpaku, matanya melebar, napasnya tersendat. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya bergetar seperti daun yang hampir jatuh. “Aku akan ke Singapura, membesarkan bisnis IT-ku sendiri. Aku sudah memulainya sejak kuliah, dan ini jalanku.” Arya berbalik, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, meninggalkan Raka dengan keheningan yang menusuk.
Kini, di tahun 2030, Raka berdiri di balkon kantor yang sama, menatap Jakarta yang berkilauan di bawahnya. Lampu-lampu kota seperti bintang yang tersesat, tetapi tak satu pun mampu menerangi lubang di hatinya. Ia memegang segelas kopi yang telah dingin, merasakan hati yang hancur seperti pohon yang kehilangan cabang terkuatnya. “Aku seharusnya mendengarmu,” bisiknya pada angin, suaranya penuh penyesalan. Di kejauhan, kota terus bernapas, tak peduli pada luka yang ia peluk erat.
Arya pergi, membawa mimpinya ke Singapura, menanam benih yang telah ia pupuk sejak masa kuliah. Santos Apparel tetap berdiri untuk sementara waktu, tetapi bagi Raka, ia seperti pohon tua yang daunnya gugur satu per satu, menanti musim dingin yang tak kunjung usai. Hening malam itu adalah panggilan yang tak terjawab, seperti suara Arya yang kini hanya bergema di dalam kepalanya, jauh dan tak tersentuh.
Bab 8: Bayang di Marketplace
Pagi di Jakarta 2030 terasa berat, udara penuh dengan dengungan drone dan aroma asap yang menyelinap di antara gedung-gedung tinggi. Raka melangkah keluar dari penthouse-nya, jaket tua menyelimuti pundaknya seperti kulit pohon yang mulai mengelupas. Ia memutuskan untuk melihat sendiri dunia yang telah meninggalkannya, dunia yang kini dikuasai Liora Ventures. Dengan tangan gemetar, ia membuka tablet kecil, layar holografik menyala di udara, menampilkan marketplace digital yang dulu menjadi lautan emas Santos Apparel. Kini, lautan itu telah mengering, dan di tepiannya, bayang-bayang Liora berdiri tegak.
Ia menggulir layar, jari-jarinya bergetar saat melihat deretan produk Liora yang mendominasi halaman utama. Koleksi mereka sederhana namun memikat—baju yang berubah warna sesuai cuaca, sepatu yang menyesuaikan bentuk kaki, semua dengan label “Dikirim dalam 30 menit”. Komentar pelanggan membanjiri kolom di bawahnya: “Cepat banget!”, “Desainnya pas sama yang lagi tren!”, “Liora emang beda.” Raka menatap kata-kata itu, seperti menatap daun-daun yang tumbuh di pohon lain, sementara pohonnya sendiri layu tanpa air. Di sudut layar, banner Santos masih ada, tapi kecil dan terabaikan, seperti bunga yang terlupakan di tepi jalan.
Dengan langkah pelan, ia berjalan ke jalanan Jakarta, tablet tetap di tangannya. Ia duduk di bangku taman kecil, dikelilingi anak-anak muda yang asyik dengan ponsel mereka, jari-jari lincah menari di layar. Di sebelahnya, seorang gadis remaja membuka aplikasi Liora, memilih jaket hitam simpel, lalu tersenyum saat notifikasi muncul: “Pesanan dikirim. Tiba dalam 15 menit.” Tak lama kemudian, drone kecil mendarat di dekatnya, meninggalkan paket dengan logo Liora yang berkilau. Raka menatapnya, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang menyaksikan tunas baru mengambil alih hutan.
Ia kembali ke tabletnya, membaca ulasan lebih dalam. “Liora tahu apa yang aku mau sebelum aku tahu sendiri,” tulis seorang pelanggan. “Desainnya pas banget, kayak dibuat khusus buat aku,” kata yang lain. Raka mengerutkan kening, mencoba memahami keajaiban di balik itu. Lalu ia menemukan artikel kecil di sudut layar: “NeuroStyle AI: Otak di Balik Liora Ventures.” Tulisan itu menjelaskan bagaimana AI mereka menganalisis jutaan data—komentar media sosial, pola pembelian, bahkan cuaca—untuk meramal tren dan menciptakan produk dalam sekejap. Santos pernah punya desainer berbakat, tapi mereka butuh minggu untuk satu koleksi. Liora? Hanya hitungan menit.
Raka menutup tablet, matanya terpaku pada langit yang penuh drone. Ia teringat studio Santos, lampu-lampu yang dulu menyala terang, host yang mengobrol riang dengan penonton. Dulu, ia bisa mendengar tawa mereka, merasakan denyut pasar di tangannya. Kini, pasar itu bicara dalam bahasa yang tak ia pahami—bahasa angka, algoritma, dan kecepatan. “Aku pernah jadi raja di sini,” gumamnya, suaranya seperti angin yang tersesat di antara dahan-dahan kering. Tapi raja itu kini hanya bayang-bayang, terdesak oleh musuh yang tak pernah menunjukkan wajahnya.
Ia bangkit, berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi anak-anak Gen Z dan Alpha, wajah mereka terpaku pada layar. Di sudut jalan, sebuah bilboard holografik muncul, menampilkan iklan Liora: seorang gadis tersenyum, mengenakan gaun yang berubah warna dari biru ke merah dalam sekejap, diakhiri dengan slogan, “Liora: Masa Depan di Tanganmu.” Raka berhenti, menatap hologram itu seperti menatap cermin yang tak lagi memantulkan dirinya. “Masa depan,” bisiknya, “tapi bukan milikku.”
Langkahnya membawanya ke sebuah kafe kecil, tempat ia duduk di sudut dengan tablet kembali terbuka. Ia mencari jejak Santos di marketplace, tapi yang ia temukan hanya sisa-sisa—produk lama dengan ulasan usang, “Keren, tapi lama banget kirimnya,” tulis seseorang. Raka menutup mata, merasakan bobot penyesalan seperti rantai yang menariknya ke dasar laut. Ia teringat Arya, anaknya, yang pernah berdiri di studio dengan tablet serupa, menunjukkan data yang sama. “Ayah, kita harus cepat,” katanya dulu, tapi Raka hanya menggeleng, terlalu yakin pada pohonnya yang tinggi.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung tua, melemparkan bayang oranye di trotoar. Raka duduk diam, tablet di pangkuannya mati, seperti kapal yang kehilangan layar di tengah lautan. Di sekitarnya, dunia terus bergerak—drone Liora melayang, anak-anak muda tersenyum dengan paket baru di tangan mereka. Ia merasa seperti pohon tua yang ditinggalkan di tepi hutan, akar-akarnya masih mencengkeram tanah, tapi cabang-cabangnya telah patah. “Aku terlambat,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan kota.
Bab 9: Tangan Lama
Pagi membawa angin sepoi ke Jakarta 2030, tapi di dalam penthouse Raka, udara terasa tebal dengan beban yang tak terucap. Ia duduk di meja kayu tua, tangan memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya tertuju pada layar holografik yang menampilkan grafik merah Santos—garis yang runtuh seperti daun di musim kering. Pintu berderit pelan, dan Mira masuk, asisten setianya selama dua dekade, membawa tablet penuh data yang kini tak lagi ia pahami. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya masih menyimpan pijar kecil, seperti bara yang menolak padam. “Pak Raka,” katanya, suaranya lembut namun tegas, “kita punya satu kesempatan terakhir.”
Raka mendongak, alisnya berkerut seperti pohon tua yang mendengar bisikan angin asing. “Kesempatan?” ulangnya, suaranya serak, penuh keraguan. Mira meletakkan tablet di meja, menyalakan hologram yang menari di udara—desain baru Santos, sederhana tapi elegan, dengan teknologi AR live commerce yang diperbarui. “Kita bisa hidupkan studio lagi, Pak,” katanya, jarinya menunjuk angka-angka kecil yang tersisa. “Kita tarik pelanggan lama, buat mereka ingat Santos. Tapi kita harus cepat.” Raka menatap hologram itu, jantungnya bergetar seperti daun yang disentuh hujan pertama, tapi ada bayang keraguan yang masih menyelimuti.
Mereka bergerak ke studio di lantai lima belas, tempat yang pernah jadi jantung Santos. Mira menyalakan lampu LED tua yang tersisa, beberapa berkedip lemah seperti lilin yang menanti akhir. Kamera-kamera di sudut ruangan dihidupkan kembali, debu beterbangan saat lensa-lensa itu membuka mata. Raka duduk di kursi host, mic tua di tangannya terasa berat, seperti membawa kenangan yang tak lagi hidup. Mira berdiri di belakang layar kontrol, suaranya menggema pelan, “Kita mulai, Pak. Sekarang.” Layar holografik menyala, dan wajah Raka muncul di marketplace, tersenyum kaku sambil memamerkan koleksi terakhir Santos.
“Kembali ke Santos,” katanya, suaranya bergetar tapi berusaha teguh, “ke pakaian yang punya cerita, bukan sekadar kain.” Ia mengangkat jaket sutra yang pernah jadi kebanggaan, tangannya gemetar saat menjelaskan detail jahitannya. Tapi layar penonton tetap sepi—hanya segelintir mata yang menonton, komentar-komentar sporadis muncul: “Bagus, tapi terlalu mahal,” “Kirimnya lama.” Raka menatap angka itu, hati seperti pohon yang tahu cabang terakhirnya akan patah. Mira menatapnya dari sudut, matanya penuh simpati, tapi tak ada kata yang keluar.
Mereka mencoba lebih keras. Mira menambahkan filter AR, membiarkan pelanggan “mencoba” jaket itu secara virtual, tapi respons tetap dingin. “Liora lebih cepat,” tulis seseorang di kolom komentar, “30 menit sampai, Santos kapan?” Raka menutup mata, mic terlepas dari tangannya, jatuh ke meja dengan dentang kecil yang menggema di studio kosong. “Kita kalah, Mira,” bisiknya, suaranya seperti angin yang tersesat di antara reruntuhan. Mira mendekat, tangannya menyentuh pundak Raka. “Kita coba, Pak. Itu yang penting,” katanya, tapi nada itu tak bisa menyembunyikan keputusasaan.
Raka bangkit, berjalan ke jendela, menatap drone Liora yang melintas dengan lincah. “Aku pikir tangan lama ini masih bisa bertahan,” gumamnya, seperti kapten yang menatap kapalnya tenggelam. Ia teringat Arya, anaknya yang pernah berdiri di studio ini, menawarkan AI yang kini menjadi nyanyian Liora. Tangannya, yang pernah merajut Santos dari nol, kini terasa kosong—tak mampu menjangkau dunia yang berlari terlalu cepat. “Mungkin aku salah,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan kota.
Sore menjelang, studio kembali hening, lampu-lampu dimatikan satu per satu. Mira duduk di sudut, tabletnya mati, wajahnya penuh bayang kelelahan. Raka berdiri di ambang pintu, menatap ruangan yang kini seperti makam impiannya. “Kita pernah besar, Mira,” katanya, suaranya pelan seperti daun yang jatuh. “Tapi besar itu tak cukup lagi.” Ia melangkah keluar, meninggalkan studio dalam kegelapan, seperti pohon tua yang menyerahkan cabang terakhirnya pada malam yang tak berujung.
Bab 10: Suara dari Gudang
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kelabu, awan tipis menyelimuti langit seperti kain usang yang menutupi luka. Raka berdiri di ambang pintu penthouse-nya, jaket tua menyelimuti pundaknya, matanya kosong menatap kota yang terus bernapas di bawah. Mira muncul di sampingnya, wajahnya penuh kerutan namun matanya masih menyimpan pijar kecil. “Pak Raka,” katanya, suaranya pelan seperti angin yang membelai daun kering, “kita harus ke gudang. Ada yang perlu dilihat.” Raka mengangguk tanpa kata, seperti pohon tua yang menyerah pada panggilan terakhir.
Mereka melangkah ke lantai bawah gedung Santos Apparel, pintu gudang besi terbuka dengan derit yang menggema di ruang sunyi. Cahaya redup menyelinap melalui celah-celah jendela tinggi, memantul pada tumpukan pakaian yang menjulang seperti reruntuhan sebuah kerajaan yang hilang. Kain-kain itu—sutra, katun, wol—dulu adalah nyanyian jiwa Santos, kini hanya bisu, menanti akhir yang tak terucapkan. Di sudut gudang, seorang pria tua berdiri, tangannya memegang sapu yang bergerak lambat menyapu debu. Wajahnya penuh garis waktu, tapi matanya masih tajam—Pak Surya, penjaga gudang yang setia selama tiga dekade.
“Pak Raka,” sapa Pak Surya, suaranya serak namun hangat, seperti kayu yang terbakar perlahan di malam dingin. “Aku tahu ini akhirnya. Tapi aku nggak bisa ninggalin tempat ini.” Raka melangkah mendekat, matanya menatap tumpukan kain yang kini jadi beban. “Kau masih di sini, Surya?” tanyanya, suaranya bergetar seperti daun yang hampir jatuh. Pak Surya tersenyum tipis, “Ini rumahku, Pak. Tiga puluh tahun aku jaga kain-kain ini, antar paket, lihat mereka jadi cerita di tangan orang. Sekarang mereka bisu, tapi aku nggak bisa pergi.”
Mira berdiri di samping, tablet di tangannya menunjukkan angka-angka yang kini tak lagi berarti—stok yang tak laku, pesanan yang terhenti. “Pak Surya bilang ada yang mau beli sisa stok ini, Pak,” katanya, suaranya penuh harap yang rapuh. “Pedagang kecil di pasar tradisional. Harganya murah, tapi bisa kurangi beban.” Raka menatap Pak Surya, lalu ke tumpukan kain itu, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang menyaksikan cabang-cabangnya dipotong satu per satu. “Jual saja,” bisiknya, suaranya seperti angin yang tersesat, “tapi bukan ini yang kubayangkan.”
Pak Surya meletakkan sapunya, melangkah mendekat dengan langkah yang lelet namun teguh. “Pak, dulu aku lihat Santos jadi pohon besar,” katanya, matanya penuh kenangan. “Tapi pohon besar pun bisa roboh kalau akarnya tak kuat. Dunia berubah, Pak. Aku cuma penjaga gudang, tapi aku tahu—kita terlambat.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan kebenaran yang ia tolak. Ia teringat Arya, anaknya, yang pernah berdiri di studio dengan tablet penuh ide, menawarkan akar baru yang ia abaikan.
Gudang itu hening, hanya suara sapu Pak Surya yang bergesek pelan di lantai, seperti nyanyian terakhir dari masa lalu. Raka berjalan menyusuri lorong-lorong kain, tangannya menyentuh sutra yang dulu jadi kebanggaan. “Kita pernah besar, Surya,” gumamnya, suaranya seperti daun yang jatuh di air tenang. “Kita pernah jadi nyanyian di hati orang-orang.” Pak Surya mengangguk, “Tapi nyanyian itu berhenti, Pak. Sekarang ada lagu lain di luar sana.” Raka menoleh ke jendela, menatap drone Liora yang melintas, membawa lagu yang tak ia pahami.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung tua, melemparkan bayang panjang ke dalam gudang. Raka berdiri di ambang pintu, menatap Pak Surya yang kembali menyapu, seperti menjaga reruntuhan dengan cinta yang tak padam. “Terima kasih, Surya,” katanya, suaranya pelan seperti angin malam. “Kau setia sampai akhir.” Pak Surya tersenyum, “Aku cuma tangan lama, Pak. Tapi tangan ini tahu kapan waktunya berhenti.” Raka mengangguk, melangkah keluar, seperti pohon tua yang meninggalkan cabang terakhirnya di tanah yang kini asing.
Bab 11: Tunas Digital
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan suara drone yang berdengung pelan, seperti nyanyian asing yang kini jadi bagian kota. Raka duduk di sudut kafe kecil di pinggir jalan, secawan kopi dingin di tangannya, matanya menatap layar tablet yang menunjukkan penutupan studio terakhir Santos. Angin malam menyelinap melalui jendela terbuka, membawa aroma asap dan debu yang menyatu dengan keheningan di dadanya. Seorang wanita muda mendekat, langkahnya ringan tapi penuh tujuan. “Pak Raka?” sapanya, suara lembut namun tegas. Raka mendongak, melihat wajah asing dengan mata berbinar—Naya, desainer Gen Z yang pernah mengiriminya proposal dua bulan lalu.
“Saya Naya,” katanya, duduk tanpa menunggu undangan, tablet kecil di tangannya menyala dengan hologram yang berputar—desain pakaian sederhana, modern, tapi penuh cerita. “Saya tahu Santos tutup, tapi saya punya ide.” Jarinya menari di udara, memperbesar gambar jaket hitam dengan pola halus. “AI bisa bantu kita buat ini lebih cepat, Pak. Prediksi tren, produksi instan, dikirim drone. Saya punya startup kecil, tapi butuh pengalaman Anda.” Raka menatapnya, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang disentuh angin baru, tapi mulutnya berkata, “Saya sudah coba semua, Naya. Cara lama cukup untuk saya.”
Naya tersenyum tipis, tak gentar. “Cara lama membawa Anda ke sini, Pak. Tapi cara baru bisa bawa Anda kembali.” Ia mengetuk tabletnya, dan hologram berganti—grafik kecil muncul, menunjukkan tren pasar yang bergerak cepat, angka-angka yang menari seperti daun di angin musim semi. “Lihat ini,” katanya, suaranya penuh semangat. “Gen Z dan Alpha nggak mau nunggu. Mereka mau cepat, personal, dan murah. Saya bisa bikin desain dalam sehari, AI bantu prediksi, dan mitra kecil kami kirim dalam sejam.” Raka menatap grafik itu, matanya menyipit, seperti menatap cermin yang memantulkan dunia yang tak ia kenali.
Di luar, sebuah drone Liora melintas, logo berkilau di sisinya seperti tanda kemenangan yang tak terbantahkan. Raka teringat studio Santos, lampu yang padam, gudang yang bisu. “Saya nggak paham AI, Naya,” katanya, suaranya serak seperti kayu yang retak. “Saya cuma tahu jahit tangan, cerita di balik kain.” Naya mengangguk, matanya penuh simpati tapi teguh. “Itu yang bikin Santos beda, Pak. Cerita itu bisa hidup lagi—AI cuma alat, bukan jiwa. Biar saya bantu alatnya, Anda bawa jiwanya.” Kata-kata itu seperti hujan kecil di tanah gersang, tapi Raka hanya diam, tangannya memegang cangkir kosong.
Naya membuka aplikasi di tabletnya, menunjukkan prototype startupnya—sebuah platform kecil bernama Tunas, tempat desainer muda berkolaborasi dengan AI untuk menciptakan pakaian sesuai pesanan. “Kami kecil, Pak,” katanya, “tapi kami cepat. Saya butuh nama besar seperti Santos untuk bikin orang percaya.” Raka menatap hologram itu, jaket hitam berputar di udara, sederhana tapi penuh makna—like Santos di masa jayanya. Ada getar kecil di dadanya, seperti tunas yang mencoba menembus tanah keras, tapi bayang keraguan masih menyelimuti.
“Pak, dunia nggak nunggu,” lanjut Naya, suaranya seperti angin yang mendorong daun baru. “Saya lihat Santos di masa kecil—kainnya, ceritanya. Tapi kini, cerita itu harus nyanyi dengan cara baru.” Raka menatapnya, wajah muda itu penuh api yang dulu ia miliki, api yang kini padam di dalam dirinya. Ia teringat Arya, anaknya, yang pernah menawarkan hal yang sama—dan ia tolak. “Aku terlalu tua, Naya,” bisiknya, seperti pohon yang tahu musimnya telah usai.
Naya bangkit, meninggalkan tablet di meja. “Pikirkan lagi, Pak. Saya tunggu,” katanya, lalu melangkah keluar, langkahnya ringan seperti daun yang terlepas di angin pagi. Raka duduk diam, menatap hologram yang masih berputar—jaket hitam itu seperti bayang masa lalu yang memanggilnya kembali. Di luar, anak-anak muda berlalu-lalang, ponsel di tangan mereka menyala dengan pesanan Liora. Ia merasa seperti pohon tua di tepi hutan, akar-akarnya masih mencengkeram, tapi cabang-cabangnya tak lagi menjangkau langit.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke dalam kafe. Raka mematikan tablet, tapi gambar jaket itu masih terngiang di matanya, seperti tunas yang menolak layu. “Mungkin,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kota, “tapi aku tak tahu caranya.” Ia bangkit, melangkah keluar, seperti kapten yang ragu melangkah ke laut baru, meninggalkan cangkir kosong di meja sebagai saksi bisikan harapan yang tak ia pegang erat.
Bab 12: Kota yang Berdengung
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan suara yang tak pernah diam, seperti lebah yang berdengung di sarang raksasa. Raka melangkah keluar dari kafe kecil, tablet Naya masih terngiang di tangannya meski kini tersimpan di saku jaket tua. Udara penuh dengan aroma asap dan logam, dicampur desingan drone yang beterbangan di langit kelabu. Ia memutuskan untuk berjalan, menyusuri jalanan yang dulu ia kenal, mencari jawaban di tengah kota yang telah berubah wajah. Langkahnya pelan, seperti pohon tua yang mencoba menapak di tanah asing.
Di sudut jalan, ia berhenti, menatap sebuah ruko kecil yang pintunya setengah terbuka. Dari dalam, suara mesin pelan menggema, dan sebuah papan sederhana bertuliskan: “Liora Mitra – Produksi Instan”. Raka mendekat, matanya menyipit saat melihat sebuah micro-factory—mesin compact seukuran lemari, lampu-lampunya berkedip hijau, kain masuk dari satu sisi dan keluar sebagai jaket hitam yang rapi di sisi lain. Seorang pemuda muda, tak lebih dari dua puluh tahun, berdiri di sampingnya, jari-jarinya mengetuk tablet dengan santai. “Tiga pesanan selesai,” katanya pada drone kecil yang mendarat, mengambil paket itu dengan lengan mekaniknya.
Raka menatap, jantungnya bergetar seperti daun yang disentuh angin kencang. “Ini Liora?” tanyanya, suaranya serak seperti kayu yang retak. Pemuda itu mendongak, tersenyum tipis. “Iya, Pak. Saya mitra mereka. Beli mesin ini, terhubung ke server Liora, dan jadi. Pesanan dateng dari apps, saya cuma tekan tombol.” Raka mengangguk, matanya tertuju pada jaket yang kini melayang di udara, dibawa drone ke langit. “Cepat,” gumamnya, seperti kapten yang menyaksikan kapal lain berlayar lebih kencang dari miliknya.
Ia melanjutkan langkah, menyusuri lorong-lorong kecil yang dulu dipenuhi pedagang kain dan penjahit. Kini, ruko-ruko itu penuh dengan mesin serupa—micro-factories Liora berdengung di setiap sudut, dari gang sempit hingga pasar tradisional. Di sebuah kios kecil, seorang ibu paruh baya duduk di samping mesinnya, tersenyum saat drone mengambil gaun merah yang baru selesai. “Liora bantu saya hidup lagi, Pak,” katanya saat Raka bertanya. “Dulu jahit tangan, sekarang mesin ini yang nyanyi.” Raka menatap gaun itu, hati seperti pohon tua yang melihat tunas baru menari di angin.
Di trotoar yang ramai, ia berhenti lagi, menatap anak-anak muda yang berjalan dengan ponsel di tangan. Mereka memesan, drone datang, dan paket tiba—semua dalam hitungan menit. Seorang remaja membuka jaket baru, tertawa bersama teman-temannya. “Liora emang cepet,” katanya, suaranya penuh kekaguman. Raka mendengar, seperti mendengar nyanyian yang tak lagi miliknya. Santos pernah besar, dengan gudang megah dan ribuan tangan, tapi Liora tak butuh itu—hanya mesin kecil dan jaringan tak terlihat yang menyebar seperti akar di bawah tanah.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang di jalanan. Raka duduk di bangku taman, tangannya memegang tablet Naya yang ia keluarkan kembali. Ia membukanya, menatap hologram jaket hitam yang berputar—sederhana, tapi penuh cerita, seperti yang Naya janjikan. “Cepat,” gumamnya, mengingat kata-kata pemuda di ruko tadi. Lalu ia teringat Arya, anaknya, yang pernah berkata hal yang sama di studio Santos. “Ayah, kita harus cepat,” bisik suara itu di kepalanya, dan Raka menutup mata, merasakan luka yang menganga lebih dalam.
Kota terus berdengung, drone Liora melayang di atas kepalanya, seperti burung-burung yang tak pernah lelah. Raka membuka mata, menatap langit yang penuh jejak mereka. “Aku tak tahu caranya,” bisiknya, suaranya hilang dalam gemuruh. Tapi di dalam dadanya, ada getar kecil—seperti tunas yang mencoba bertahan di tanah yang kini dikuasai akar lain. Ia mematikan tablet, melangkah kembali ke jalanan, seperti pohon tua yang mencari celah di hutan yang tak lagi miliknya.
Bab 13: Bayang Lama
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kelabu yang pekat, seperti kain tua yang menyelimuti matahari. Raka melangkah keluar dari taman kecil, tangan di saku jaketnya memegang tablet Naya yang kini terasa seperti beban. Ia memutuskan untuk pergi ke satu tempat terakhir—toko Santos di pusat kota, kuil terakhir dari kerajaan yang pernah ia bangun. Langkahnya berat, seperti pohon tua yang menapak di tanah yang kini penuh reruntuhan, menuju bayang masa lalu yang masih memanggilnya.
Toko itu berdiri di sudut jalan yang ramai, pintunya tertutup rapat, papan “TUTUP” bergoyang pelan tertiup angin. Kaca vitrine yang dulu berkilau penuh manekin kini berdebu, bayang-bayang pakaian lama masih terlihat samar di baliknya. Raka mendekat, tangannya menyentuh kaca dingin, jari-jarinya meninggalkan jejak di lapisan debu. “Kau pernah hidup,” gumamnya, suaranya seperti angin yang tersesat di antara cabang-cabang kering. Di dalam, ia bisa membayangkan lampu-lampu yang dulu menyala terang, musik lembut yang mengalun, dan pelanggan yang berdesakan mencoba baju dengan senyum lebar.
Seorang wanita paruh baya mendekat, langkahnya pelan, tangannya memegang tas kain tua. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya menyimpan kenangan yang hidup. “Pak Raka?” tanyanya, suaranya hangat seperti kayu yang terbakar pelan di perapian. Raka menoleh, mengenalnya samar—Bu Sari, pelanggan setia yang dulu sering datang ke toko ini. “Saya tahu Anda dari majalah,” katanya, tersenyum tipis. “Saya beli baju pertama anak saya di sini, dulu, waktu Santos masih jadi nyanyian di hati kami.” Raka mengangguk, hati seperti daun yang disentuh embun pertama.
“Dulu tempat ini ramai,” lanjut Bu Sari, matanya menatap kaca vitrine yang buram. “Saya suka dateng, lihat host cerita tentang kain, pegang sutra yang punya cerita. Tapi sekarang…” Suaranya memudar, seperti nyanyian yang terputus di tengah nada. Raka menatapnya, lalu ke toko yang kini bisu. “Sekarang Liora yang nyanyi,” katanya, suaranya serak seperti pohon yang tahu musimnya telah usai. Bu Sari mengangguk, “Iya, Pak. Anak saya pesan dari Liora kemarin—30 menit sampai. Santos nggak bisa gitu, ya?”
Raka menatap tas kain di tangan Bu Sari, melihat sehelai kain Santos yang usang namun terjaga rapi. “Itu dari kami?” tanyanya, suaranya penuh kerinduan yang rapuh. Bu Sari tersenyum, mengeluarkan kain itu—syal sutra dengan pola bunga yang pernah jadi kebanggaan Santos. “Iya, Pak. Saya simpan dari dulu. Masih bagus, tapi… sekarang cuma kenangan.” Raka menyentuh syal itu, jari-jarinya gemetar seperti menyentuh akar yang telah lama terkubur. “Kenangan,” ulangnya, seperti kapten yang menatap layar kapalnya yang patah.
Di kejauhan, drone Liora melintas, suaranya menggema di jalanan yang ramai. Bu Sari menatapnya, lalu kembali ke Raka. “Saya kangen Santos, Pak,” katanya, suaranya penuh luka kecil. “Tapi dunia nggak nunggu kita, ya?” Raka mengangguk, matanya basah tapi ia tahan airnya. “Nggak nunggu,” bisiknya, seperti pohon tua yang menyaksikan tunas baru mengambil alih hutan. Bu Sari menggenggam syal itu erat, lalu melangkah pergi, meninggalkan Raka dengan bayang-bayang yang kini terasa lebih berat.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke trotoar. Raka berdiri di depan toko, tangannya masih di kaca vitrine, seperti menjaga reruntuhan dengan cinta yang tak padam. “Kita pernah jadi nyanyian,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kota. Tapi nyanyian itu telah usai, digantikan oleh lagu baru yang tak ia pahami—lagu Liora, lagu dunia yang bergerak tanpa henti. Ia melangkah pergi, seperti pohon tua yang meninggalkan cabang terakhirnya di tanah yang kini dingin.
Bab 14: Hutan Baru
Siang di Jakarta 2030 membawa panas yang menyengat, seperti bara yang membakar sisa-sisa daun kering. Raka melangkah keluar dari bayang toko Santos yang bisu, tangannya memegang syal sutra Bu Sari yang ia simpan di saku, seperti akar terakhir yang ia genggam. Ia memutuskan untuk mencari Arman, sahabat lamanya yang pernah menanam gedung-gedung megah, kini tersapu angin baru bernama Liora. Langkahnya membawanya ke sebuah ruko kecil di pinggir kota, tempat Arman kini bersemayam—bukan di menara kaca, tapi di hutan baru yang tak lagi ia kenali.
Ruko itu sederhana, pintunya terbuka lebar, suara mesin pelan berdengung dari dalam. Raka melangkah masuk, matanya menyipit saat melihat micro-factory Liora di sudut—lampu hijau berkedip, kain masuk dan keluar sebagai jaket rapi dalam hitungan menit. Arman berdiri di sampingnya, wajahnya penuh garis waktu, tapi matanya menyimpan pijar kecil yang baru lahir. “Raka,” sapanya, suaranya hangat seperti kayu yang terbakar pelan, “kau datang.” Raka mengangguk, seperti pohon tua yang menatap tunas baru di hutan yang dulu sama-sama mereka tanam.
“Aku dengar kau jadi mitra Liora,” kata Raka, suaranya serak seperti angin yang tersesat di antara dahan kering. Arman tersenyum tipis, tangannya menyentuh mesin kecil itu. “Iya, Raka. Dua tahun lalu, bisnis propertiku mati—nggak ada yang mau apartemen besar lagi. Liora datang, nawarin paket ini. Aku beli mesinnya, terhubung ke server mereka, dan sekarang aku hidup lagi.” Ia mengetuk tablet di tangannya, dan drone kecil mendarat, mengambil jaket yang baru selesai. “Cepat, murah, dan mereka yang atur semuanya,” tambahnya, matanya penuh kekaguman yang pahit.
Raka menatap jaket itu melayang di udara, hati seperti daun yang disentuh angin kencang. “Kau menyerah, Arman?” tanyanya, suaranya bergetar seperti pohon yang tahu cabangnya telah patah. Arman menggeleng, lalu duduk di kursi tua di sudut ruko. “Bukan menyerah, Raka. Bertahan. Dulu aku tanam gedung, sekarang aku tanam tunas kecil ini. Liora nggak cuma ambil alih—mereka bagi hutan ini sama kita, asal kita ikut cara mereka.” Raka mendengar, seperti kapten yang menyaksikan nahkoda lain mengambil alih lautan.
Arman bangkit, mengambil secangkir teh dari meja kecil, menawarkannya pada Raka. “Lihat ini,” katanya, menunjukkan tabletnya—grafik keuntungan kecil tapi stabil berputar di udara. “Aku nggak kaya lagi, tapi aku makan. Anak-anakku sekolah. Liora kasih aku jalan, Raka, waktu aku pikir semua udah habis.” Raka memegang cangkir itu, tangannya gemetar seperti menyentuh akar baru yang tak ia tanam sendiri. “Tapi ini bukan milik kita,” bisiknya, suaranya penuh luka yang tak terucap.
“Liora nggak punya wajah,” lanjut Arman, matanya menatap drone yang kembali melayang. “Tapi mereka punya tangan panjang. Aku cuma satu dari ribuan mitra—ruko kecil, pedagang pasar, bahkan penjaga warung. Mereka kasih mesin, kasih apps, dan kita kerja. Hutan ini nggak milik kita lagi, Raka, tapi kita masih bisa berteduh di bawahnya.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan bayang dirinya yang lain—yang menyerah, yang hidup kembali.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke dalam ruko. Raka berdiri di ambang pintu, menatap Arman yang kembali mengetuk tabletnya, seperti menjaga tunas kecil di hutan baru. “Kau terlihat damai,” katanya, suaranya pelan seperti daun yang jatuh. Arman tersenyum, “Damai karena aku terima, Raka. Kau kapan?” Raka tak menjawab, melangkah keluar, seperti pohon tua yang meninggalkan cabang terakhirnya di tanah yang kini dikuasai hutan lain.
Bab 15: Jaringan Tak Terlihat
Malam di Jakarta 2030 turun dengan gelap yang pekat, seperti tinta yang menyelimuti kota yang tak pernah tidur. Raka duduk di sudut kafe tersembunyi di pinggir jalan, lampu neon redup memantul di wajahnya yang penuh kerutan. Di tangannya, cangkir kopi kosong tergeletak, dingin seperti harapan yang telah lama ia lepaskan. Setelah bertemu Arman, tekad kecil menyala di dadanya—bukan untuk melawan, tapi untuk memahami bayang-bayang yang telah merenggut Santos. Ia telah menghubungi seseorang, seorang bayang di dunia digital, untuk mencari jejak Liora Ventures yang tak kasat mata.
Pintu kafe berderit pelan, dan seorang pemuda masuk, hoodie hitam menutupi wajahnya, tangannya memegang laptop tua yang penuh goresan. “Pak Raka?” tanyanya, suaranya rendah seperti bisikan angin di malam sunyi. Raka mengangguk, matanya menyipit menatap sosok itu. “Kamu yang mereka panggil Kael?” balasnya, suaranya serak seperti kayu yang retak. Pemuda itu duduk, membuka laptopnya, layar biru menyala samar di bawah hoodie. “Iya. Aku dengar kau mau tahu soal Liora. Itu nggak murah—dan nggak gampang.” Raka menatapnya, seperti pohon tua yang mencari celah di hutan gelap.
Kael mengetuk tombol-tombol dengan cepat, jari-jarinya menari seperti daun yang tertiup angin kencang. Layar laptop berganti-ganti, kode-kode berderet seperti sungai yang mengalir deras. “Liora nggak punya wajah,” katanya, matanya tak lepas dari layar. “Situs mereka cuma cangkang—alamat Jakarta itu palsu, servernya disembunyiin lelet jalur satelit.” Raka mengerutkan kening, “Jadi mereka di mana?” Kael tersenyum tipis, “Aku lacak IP-nya. Ada sinyal dari Sumba—pulau kecil, nggak terduga. Tapi itu cuma ujung benang. Jaringan mereka lebih dalam, Pak.”
Layar menunjukkan peta digital, titik-titik kecil menyala di seluruh Indonesia—Jakarta, Surabaya, Medan, bahkan desa-desa terpencil. “Ini mitra mereka,” lanjut Kael, suaranya penuh kekaguman yang tersembunyi. “Micro-factories tersebar di mana-mana, terhubung ke server pusat yang aku nggak bisa tembus. Mereka pake enkripsi tingkat militer—nggak ada celah.” Raka menatap peta itu, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang menyaksikan akar-akar baru menyebar di bawah tanah yang tak ia lihat.
“Jadi mereka nggak punya kantor besar?” tanya Raka, suaranya seperti kapten yang kehilangan peta di lautan malam. Kael menggeleng, “Nggak perlu, Pak. Semua di cloud—data, pesanan, produksi. Mitra mereka cuma eksekusi, Liora yang pikir. Aku nemu satu nama—Rian Arifianto, CEO. Tapi dia cuma bayang, nggak ada jejak digital yang jelas.” Raka menatap titik di Sumba, seperti menatap cermin yang memantulkan musuh tanpa wajah. “Sumba,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kafe.
Kael menutup laptopnya, matanya menatap Raka dari balik hoodie. “Liora kayak hutan tak terlihat, Pak. Akarnya di mana-mana, tapi kau nggak bisa lihat pohonnya. Mereka gerak cepat, efisien—Santos nggak punya kesempatan.” Raka mengangguk, tangannya gemetar seperti daun yang menanti akhir musim. “Aku tahu,” bisiknya, “tapi aku harus lihat sendiri.” Ia teringat Arya, anaknya, yang pernah bicara tentang AI—dan ia tolak. Kini, bayang itu bicara dengan suara yang tak ia dengar.
Malam semakin larut, lampu neon di kafe berkedip lemah, seperti lilin yang menanti akhir. Kael bangkit, meninggalkan kartu kecil di meja. “Kalau mau lebih dalam, hubungi aku lagi. Tapi hati-hati—Liora nggak suka dikorek.” Raka memandang kartu itu, lalu ke langit di luar—drone Liora melayang, seperti burung yang tak pernah lelah. Ia duduk diam, seperti pohon tua yang akarnya masih mencengkeram tanah, tapi cabang-cabangnya tak lagi menjangkau langit yang kini milik hutan baru.
Bab 16: Peta Dunia Kecil
Malam di Jakarta 2030 semakin gelap, seperti lautan tinta yang menyelimuti kota yang tak pernah istirahat. Raka duduk di sudut kafe tersembunyi, lampu neon redup memantul di wajahnya yang penuh kerutan, tangannya memegang kartu kecil yang ditinggalkan Kael. Di depannya, pemuda itu kembali duduk, hoodie hitam menutupi wajahnya, laptop tua terbuka dengan layar biru yang menyala samar. “Kau bilang Sumba,” kata Raka, suaranya serak seperti kayu yang retak, “tapi aku butuh lebih.” Kael mengangguk, seperti bayang yang menari di tepi cahaya.
Jari-jari Kael kembali menari di tombol-tombol, kode-kode berderet seperti sungai yang mengalir tanpa henti. Layar berganti, dan sebuah peta digital muncul—titik-titik kecil menyala di seluruh dunia, dari Jakarta hingga New York, dari desa-desa di Jawa hingga pasar kecil di Mumbai. “Ini bukan cuma Indonesia, Pak,” kata Kael, suaranya rendah seperti bisikan angin di malam sunyi. “Liora punya jaringan global—micro-factories di setiap sudut, terhubung ke server yang nggak aku tembus.” Raka menatap peta itu, seperti pohon tua yang menyaksikan hutan baru menjalar ke langit luas.
Kael memperbesar peta, fokus pada Indonesia—titik-titik menyala di ruko-ruko kecil, warung pinggir jalan, bahkan garasi rumah di pelosok desa. “Lihat ini,” katanya, jarinya menunjuk sebuah titik di Banyuwangi. “Seorang nelayan jadi mitra mereka—mesinnya cetak jaket, drone antar ke pelabuhan. Pesanan dari Jakarta sampai dalam sejam.” Raka mengerutkan kening, matanya tertuju pada titik-titik itu, seperti menatap akar-akar yang menyebar di bawah tanah yang tak ia lihat. “Semua orang jadi bagian mereka?” tanyanya, suaranya bergetar seperti daun di angin kencang.
“Ya,” jawab Kael, tangannya mengetuk lagi, memperlihatkan data transaksi yang berputar cepat. “Mereka kasih mesin murah, apps gratis, dan server yang pikirin semuanya. Mitra cuma tekan tombol—Liora yang prediksi tren, atur stok, kirim drone. Nggak ada limbah, nggak ada gudang besar.” Layar menunjukkan angka—jutaan transaksi harian, keuntungan kecil tapi stabil di setiap titik. “Ini dunia kecil mereka, Pak,” lanjut Kael, “tapi jaringannya raksasa.” Raka menatap, seperti kapten yang kehilangan peta di lautan tanpa tepi.
Di luar, drone Liora melintas, suaranya menggema di jalanan yang ramai. Raka teringat Santos—gudang megah, ribuan karyawan, mesin besar yang kini diam. “Aku pernah punya dunia besar,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan. “Tapi mereka buat dunia kecil yang hidup.” Kael mengangguk, matanya tak lepas dari layar. “Itu kekuatan mereka, Pak. Nggak perlu besar—cukup cepat dan banyak. Santos terlalu berat untuk lari di hutan ini.”
Raka menatap peta itu lagi, titik di Sumba berkedip samar seperti mata yang mengintai dari kejauhan. “Rian Arifianto,” bisiknya, mengingat nama yang Kael sebutkan sebelumnya. “Dia di Sumba?” Kael menggeleng pelan, “Mungkin cuma operasi kecil di sana—bisa markas, bisa cuma server. Tapi aku yakin jejaknya dari situ.” Raka menatap titik itu, hati seperti pohon tua yang akarnya terkubur, tapi cabang-cabangnya tak lagi menjangkau langit. “Aku harus ke sana,” katanya, suaranya penuh tekad yang rapuh.
Kael menutup laptopnya, cahaya biru padam, meninggalkan mereka dalam bayang neon kafe. “Hati-hati, Pak,” katanya, suaranya seperti angin yang membawa peringatan. “Liora nggak suka dikorek, dan aku cuma bisa bawa kau sampe sini.” Raka mengangguk, tangannya memegang kartu itu erat, seperti memegang benang terakhir di labirin gelap. Ia bangkit, melangkah keluar, drone Liora masih melayang di atas kepalanya, seperti burung yang menjaga hutan tak terlihat.
Bab 17: Langkah Keliru
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kilau tipis matahari yang menyelinap di antara gedung-gedung tinggi, seperti harapan yang mencoba menembus kabut. Raka berdiri di balkon penthouse-nya, tangan memegang tablet Naya yang kini penuh goresan di pikirannya. Ia teringat peta Kael—jaringan Liora yang tak terlihat—dan kata-kata Arman tentang bertahan. Tapi di dadanya, ada bara kecil yang menolak padam, dorongan untuk mencoba sekali lagi, dengan cara yang ia tahu, cara yang pernah membawa Santos ke puncak. “Aku harus buktikan,” gumamnya, suaranya seperti angin yang membelai daun kering.
Ia memanggil Mira, asisten setianya, ke ruang kerjanya yang sunyi. Layar holografik menyala di udara, menampilkan rencana besar—pameran mode offline di lapangan terbuka, seperti masa lalu Santos yang gemilang. “Kita hidupkan lagi, Mira,” katanya, suaranya teguh meski bergetar. “Kita tarik pelanggan lama, bikin mereka ingat cerita kita. Nggak perlu AI, nggak perlu drone—cuma kita, kain, dan hati.” Mira menatapnya, matanya penuh keraguan tapi tak berkata apa-apa. “Baik, Pak,” jawabnya pelan, seperti daun yang tahu angin tak akan berpihak.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan hiruk-pikuk yang lama tak ia rasakan. Raka dan Mira menggerakkan sisa tim Santos—desainer tua, penjahit setia, bahkan Pak Surya dari gudang—untuk menyiapkan pameran di lapangan Monas. Kain-kain dari stok lama digunting, dijahit, menjadi koleksi terakhir yang penuh cerita. Panggung kayu didirikan, lampu-lampu tua dipasang, dan banner besar bertuliskan “Santos: Kembali ke Akar” berkibar di angin. Raka berdiri di tengahnya, tangan menyentuh sutra yang terasa hidup lagi, seperti pohon tua yang mencoba bertunas di musim yang salah.
Hari pameran tiba, langit cerah tapi angin bertiup dingin. Raka berdiri di panggung, mic di tangan, suaranya menggema ke kerumunan kecil yang datang—wajah-wajah tua, beberapa anak muda yang penasaran. “Ini Santos,” katanya, matanya berkaca-kaca, “bukan sekadar kain, tapi nyanyian jiwa. Kita buat dengan tangan, dengan hati—bukan mesin.” Ia mengangkat gaun sutra merah, jahitan halus berkilau di bawah lampu, dan sorak kecil terdengar. Tapi di kejauhan, drone Liora melintas, suaranya seperti bisikan yang menertawakan usahanya.
Kerumunan itu tak bertambah. Beberapa membeli, tangan mereka gemetar menyentuh kain dengan nostalgia, tapi lebih banyak yang berlalu, ponsel di tangan mereka menyala dengan pesanan Liora. “Bagus, tapi mahal,” kata seorang ibu, lalu pergi. “Lama datengnya,” komentar seorang remaja, jarinya mengetuk apps lain. Raka menatap mereka pergi, hati seperti pohon yang cabang-cabangnya patah satu per satu. Mira mendekat, tablet di tangannya menunjukkan angka—penjualan kecil, tapi biaya jauh lebih besar. “Kita rugi, Pak,” bisiknya, suaranya seperti angin yang membawa daun terakhir.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke lapangan yang kini sepi. Raka duduk di panggung kosong, gaun sutra merah tergeletak di sampingnya, seperti bunga yang layu di tanah gersang. Pak Surya mendekat, tangannya memegang sapu tua. “Kita coba, Pak,” katanya, suaranya hangat tapi penuh luka. “Tapi dunia nggak denger lagi.” Raka mengangguk, matanya menatap langit—drone Liora masih melayang, seperti burung yang tak pernah lelah.
Ia bangkit, tangan gemetar memegang mic yang kini dingin. “Aku pikir cerita kita cukup,” gumamnya, seperti kapten yang kapalnya tenggelam di lautan malam. Tapi cerita itu tak lagi didengar, tersapu oleh nyanyian baru yang lebih cepat, lebih dingin. Mira berdiri di samping, matanya basah tapi ia tahan airnya. “Kita pernah besar, Pak,” katanya, suaranya seperti daun yang jatuh pelan. Raka mengangguk, “Tapi besar itu tak cukup.” Ia melangkah pergi, meninggalkan panggung dalam hening, seperti pohon tua yang menyerah pada angin yang tak ia pahami.
Bab 18: Suara dari Jauh
Malam di Jakarta 2030 terbit dengan hening yang tak biasa, seperti lautan yang menahan napas di bawah langit kelabu. Raka duduk di sudut penthouse-nya yang sepi, tangan memegang cangkir kosong yang dingin, matanya tertuju pada layar holografik yang mati. Pameran di Monas telah usai, meninggalkan luka baru di dadanya—seperti pohon tua yang cabang terakhirnya patah di tengah badai. Di luar, lampu kota berkedip pelan, tapi cahayanya tak mampu menembus kegelapan yang kini menyelimutinya.
Tiba-tiba, sebuah nada kecil menggema dari ponselnya, memecah hening seperti batu yang jatuh ke air tenang. Raka mengerutkan kening, jari-jarinya gemetar saat mengambil alat itu dari meja. Layar menyala, menampilkan pesan singkat dari nomor yang lama tak ia lihat—Arya. “Ayah, kita perlu bicara,” tulisnya, hanya empat kata, tapi terasa seperti angin kencang yang mengguncang daun-daun kering di pohonnya. Raka menatap pesan itu, jantungnya berdegup seperti drum yang dipukul di malam sunyi, penuh harap dan ketakutan yang bercampur.
Ia menutup mata, bayang wajah Arya kecil muncul di pikirannya—senyum polos yang dulu menghiasi studio Santos, kini jauh di Singapura. Terakhir mereka bicara, suara Arya dingin, “Ayah sibuk,” katanya, dan Raka tak bisa menjawab, membiarkan keheningan memutus tali di antara mereka. Kini, pesan ini seperti tali yang tiba-tiba ditarik kembali, tapi ia tak tahu apakah itu akan menyelamatkannya atau mencekiknya lebih dalam. “Arya,” bisiknya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “apa yang kau mau katakan?”
Raka membuka pesan itu lagi, jari-jarinya berhenti di atas tombol balas, seperti pohon tua yang ragu menjangkau tunas yang telah pergi. Ia mengetik, “Arya, apa kabar?” tapi lalu menghapusnya—terlalu sederhana, terlalu kosong untuk luka yang telah ia ciptakan. Ia teringat 2026, malam ketika Arya meninggalkan Santos, langkahnya teguh meninggalkan ruangan yang kini jadi makam impian mereka. “Aku salah,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kota, tapi kata-kata itu tak sampai ke layar.
Di luar, sebuah drone Liora melintas, suaranya seperti nyanyian asing yang kini jadi bagian Jakarta. Raka menatapnya, lalu kembali ke pesan Arya, hati seperti daun yang tersapu angin dingin. “Kita perlu bicara,” ulangnya dalam hati, mencoba menebak nada di balik kata-kata itu. Apakah amarah? Atau harapan? Ia teringat Naya yang menawarkan tunas baru, Arman yang bertahan dengan Liora, dan pameran yang gagal—semua seperti bayang yang menari di tepi kegelapan, tapi pesan ini terasa lebih nyata, lebih tajam.
Malam semakin larut, lampu kota berkedip seperti bintang yang tak ia raih. Raka duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat, seperti memegang akar yang telah lama terputus. Ia akhirnya mengetik, “Baik, Arya. Kapan?” lalu menekan kirim, jari-jarinya gemetar seperti daun yang menanti hujan pertama. Layar menyala sebentar, lalu padam, meninggalkan hening yang lebih berat dari sebelumnya. Di dadanya, ada getar kecil—seperti tunas yang mencoba bertahan di tanah gersang, menanti suara dari jauh yang mungkin membawa cahaya atau badai.
Bab 19: Surga Sunyi
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kelabu yang cepat berlalu, digantikan oleh langit biru Sumba yang terbentang luas seperti kain tak bertepi. Raka melangkah keluar dari drone yang mendarat lembut di sebuah vila tersembunyi di tepi tebing, angin laut membawa aroma garam dan bisikan damai yang asing di telinganya. Pesan Arya—“Kita perlu bicara”—masih bergema di kepalanya, tapi Kael telah membukakan pintu lain: jejak Liora di Sumba. Ia tiba dengan hati penuh pertanyaan, seperti pohon tua yang mencari akar baru di tanah yang tak ia kenal.
Vila itu berdiri megah namun sederhana, dinding kaca memantulkan sinar matahari, pintu otomatis terbuka dengan suara halus menyambutnya. Di dalam, ia disambut oleh Sarah, asisten Rian, wanita muda dengan senyum hangat yang menyimpan ketegasan halus. “Selamat datang, Pak Raka,” sapanya, suaranya seperti angin sepoi di tepi pantai. “Beliau menunggu.” Raka mengangguk, langkahnya pelan memasuki ruangan yang lebih mirip kapal masa depan—layar holografik memenuhi udara, robot kecil bergerak senyap, dan dinding kaca menampilkan laut yang bergoyang pelan.
Rian Arifianto muncul dari sudut ruangan, pria muda berusia 26 tahun dengan jas tipis, matanya dalam seperti lautan di bawah bulan. “Pak Raka,” katanya, suaranya penuh wibawa namun ramah, “senang bertemu Anda.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan bayang Arya—semangat muda yang dulu ia tolak. “Aku datang untuk tahu,” katanya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “siapa Liora sebenarnya.” Rian tersenyum tipis, melambaikan tangan, dan meja di depan mereka hidup, hologram pakaian berputar di udara.
“Dunia berubah, Pak,” kata Rian, jarinya menari di udara, menggerakkan grafik yang muncul seperti daun-daun di angin. “Liora bukan perusahaan biasa—kami jaringan, bukan menara. Mitra kami di mana-mana, mesin kami kecil tapi cepat.” Raka menatap, hati seperti pohon tua yang menyaksikan hutan baru menjalar tanpa suara. “Kau ambil Santos,” bisiknya, suaranya penuh luka yang tak terucap. Rian mengangguk, matanya penuh simpati. “Bukan ambil, Pak. Dunia yang pilih kami.”
Rian mengajaknya ke luar, ke tepi tebing yang menghadap laut biru Sumba. “Di sini aku kerja,” katanya, menunjuk vila yang sunyi namun hidup dengan teknologi. “Tanpa gedung besar, tanpa ribuan orang—hanya aku, tim kecil, dan AI yang nyanyi.” Raka menatap laut, teringat studio Santos yang kini bisu. “Aku pernah punya ribuan tangan,” katanya, suaranya seperti kapten yang kehilangan kapalnya. Rian tersenyum, “Ribuan tangan berat, Pak. Kami pake ribuan mesin kecil—cepat, murah, dan tak lelah.”
Sore menjelang, matahari tenggelam di ufuk, melemparkan bayang emas ke laut yang tenang. Raka duduk di kursi kayu di teras vila, tangan memegang cangkir teh yang ditawarkan Rian. “Kau muda,” katanya, suaranya penuh kerinduan yang pahit, “tapi kau kalahkan aku.” Rian duduk di sampingnya, matanya menatap laut. “Bukan kalah, Pak. Dunia bergerak, dan aku ikut anginnya. Santos hebat, tapi terlalu tinggi untuk lari.” Raka mengangguk, seperti pohon tua yang tahu cabang-cabangnya tak lagi menjangkau langit.
Di dalam vila, robot kecil membawa laporan, suara lembut AI mengalun pelan. Raka menatap Rian, lalu ke laut yang sunyi, hati seperti daun yang tersapu angin sepoi. “Aku pikir aku bisa bertahan,” bisiknya, suaranya hilang dalam desiran ombak. Rian mengangguk, “Kau bertahan lama, Pak. Tapi surga ini milik yang cepat.” Raka menatapnya, seperti menatap tunas baru yang tumbuh di hutan yang kini asing, dan untuk pertama kalinya, ia merasa damai di tengah sunyi.
Bab 20: Badai Liora
Sore di Sumba terasa lembut, angin laut membelai vila tersembunyi di tebing seperti lagu yang tak pernah usai. Raka duduk di kursi aneh yang bergetar pelan, menyesuaikan lekuk punggungnya seperti tangan halus yang memeluk. Di depannya, Rian Arifianto berdiri, jas tipisnya bergoyang tertiup angin, dikelilingi ruangan yang lebih mirip kapal masa depan. Dinding kaca buram seketika, lalu menyala dengan layar penuh warna dan angka. “Rian,” tanya Raka, suaranya serak penuh rasa ingin tahu, “Liora cuma startup kecil lima tahun lalu. Santos aku bangun lebih dari tiga puluh lima tahun—bagaimana kau kalahkan aku secepat ini?” Rian tersenyum tipis, melambaikan tangan, dan meja di depannya hidup, memunculkan hologram pakaian yang menari di udara.
“Kecepatan, Pak Raka,” jawab Rian, suaranya lembut bagai angin senja. “AI kami baca tren fashion dalam sekejap—tak perlu riset panjang seperti dulu.” Ia menjentikkan jari, dan lantai menyala, peta dunia muncul di bawah kaki mereka—titik-titik kecil bercahaya tersebar di kota-kota besar dan daerah. “Micro-factories kami ada di mana-mana, Pak. Sebagian milik kami, sebagian milik mitra yang beli paket kemitraan Liora—semua bekerja dua puluh empat jam tanpa manusia, terhubung ke server kami, jangkau konsumen yang butuh pakaian cepat.” Raka terpaku, takjub pada jaringan yang berdenyut seperti nadi, menghidupi badai yang tak ia lihat datang.
Rian melangkah ke jendela, yang tiba-tiba jadi layar besar, menampilkan runway Paris virtual. “AI kami baca komentar pelanggan—dari kami, dari kompetitor—dirangkum dalam detik untuk putuskan langkah berikutnya.” Printer kecil di meja mendengung, mencetak jaket mini seketika, dan Rian menambah, “Kain kami pintar—ubah warna, bentuk, sesuai keinginan, semua lewat aplikasi.” Raka merasa kursinya hangat, sensor di dalamnya membaca degup jantungnya yang kian kencang. Ruangan ini hidup—dinding berbisik, meja bernyanyi—dan ia seperti pohon tua di tengah hutan logam yang tak ia kenal.
“Tapi kuncinya,” kata Rian, nada bangga terdengar, “kami menggunakan engine AI canggih di bidang fashion dengan nama Lila AI.” Raka tersentak, matanya membesar. “Lila?” ulangnya pelan, dan Rian mengangguk, “Ya, Lila AI—mesin yang prediksi tren, baca emosi lewat jam pintar, dan ciptakan desain personal secepat napas.” Raka tersenyum kecil, hati yang tadinya beku kini mencair. Nama itu, Lila, sama seperti mendiang istrinya—gadis Semarang yang dulu menjahit bersamanya. Kebetulan apa ini, atau bisikan halus dari masa lalu?
Rian tak sadar pada riak di wajah Raka, melanjutkan ceritanya. “Kami punya langganan digital—bayar bulanan, pilih dari lemari virtual, kami kirim, lalu ambil kembali untuk daur ulang.” Hologram muncul, menari, menunjukkan orang-orang “mencoba” baju dengan lambaian tangan. “Kampanye kami pakai hologram di jalanan—beli tanpa toko.” Raka menatap Rian, lalu ke vila yang bergetar dengan teknologi—lantai yang hidup, dinding yang bicara. Ia tak lagi bertanya “mengapa”, tapi “bagaimana aku tak tahu ini?”
Ruangan itu bernapas, dinding kaca membukakan pemandangan laut biru di luar, kontras dengan kilau dalam. Raka mengangguk pelan, kagum bercampur kecut. “Lila AI,” gumamnya lagi, nama itu bergema seperti lagu lama. Rian menyentuh meja, hologram berganti jadi peta keuntungan—garis menanjak bagai bukit. “Ini soal cepat dan tepat, Pak,” katanya. Raka menatapnya, lalu ke printer kecil yang diam, dan ke laut di luar. Santos, tiga puluh lima tahunnya, lenyap dalam badai ini.
Badai bernama Liora telah menyapu industri yang dulu ia raja. Raka berdiri, tangannya gemetar, tapi ada rasa aneh di dadanya—takjub, takut, dan sedikit damai. Ruangan ini, dengan kursi yang memeluk, dinding yang berbisik, dan nama Lila AI, adalah bukti dunia telah berganti. Ia menatap Rian, lelaki muda yang tak tahu makna nama itu baginya, dan bertanya dalam hati, “Lila, apa kau ikut membangun ini dari sana?” Senyumnya tak hilang, seperti embun yang bertahan di daun kering.
Bab 21: Cahaya Pudar
Malam menyelimuti Jakarta 2030 dengan selimut kelabu, seperti kain tua yang menutupi luka yang tak sembuh. Raka duduk di kursi penthouse-nya yang sepi, tangan memegang cangkir teh yang kini dingin, matanya tertuju pada jendela besar yang memantulkan bayang wajahnya—wajah penuh kerutan, penuh cerita yang kini memudar. Ia baru kembali dari Sumba, vila Rian masih terngiang di pikirannya, tapi nama “Lila AI” bergema lebih keras, seperti lagu lama yang tiba-tiba terdengar di malam sunyi. Di luar, lampu kota berkedip pelan, tapi cahayanya tak mampu menembus kegelapan dalam dadanya.
Raka menutup mata, bayang Lila muncul seperti embun di daun kering—gadis Semarang yang dulu duduk bersamanya di meja kayu kecil, menjahit kain dengan tangan lembut. “Raka, kita mulai dari nol,” katanya dulu, matanya berbinar seperti lampion di malam pasar. Bersama, mereka merajut Santos, benih kecil yang tumbuh jadi pohon besar—ia dengan mimpinya, Lila dengan kesabarannya. Kini, nama itu hidup lagi di dunia Liora, tapi bukan miliknya, seperti nyanyian yang dicuri angin dan dinyanyikan oleh orang lain.
Ia bangkit, berjalan ke meja kecil di sudut ruangan, membuka laci yang penuh kenangan. Di dalamnya, sebuah foto tua terlipat rapi—Raka, Lila, dan Arya kecil tersenyum di halaman rumah kayu Semarang. Raka mengangkatnya, jari-jarinya gemetar seperti daun yang menanti akhir musim. “Kau ajarin Arya soal hati, Lila,” bisiknya, suaranya serak seperti kayu yang retak. “Dan aku ajarin dia soal mimpi—tapi aku tak dengar mimpinya.” Foto itu seperti cermin yang memantulkan kegagalannya, cahaya pudar yang tak lagi ia pegang.
Pikiran melayang ke 2026, malam ketika Arya pergi. Ia berdiri di studio Santos, matanya penuh api, tablet di tangannya penuh ide tentang AI. “Ayah, kita harus cepat,” katanya, tapi Raka menggeleng, terlalu tinggi di pohonnya untuk melihat badai yang mendekat. Arya melangkah pergi, dan Raka membiarkan, yakin Santos tak butuh perubahan. Kini, badai itu bernama Liora, dan “Lila AI” adalah nyanyian yang Arya ciptakan jauh di Singapura—tanpa ia tahu, tanpa ia sentuh. “Aku salah, Lila,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kota.
Di luar, sebuah drone Liora melintas, logo berkilau di sisinya seperti pisau yang memotong hati. Raka menatapnya, lalu kembali ke foto, jantung seperti pohon tua yang akar-akarnya terkubur dalam tanah penuh luka. Ia teringat pesan Arya—“Kita perlu bicara”—dan hati bergetar, seperti daun yang disentuh angin dingin. Apakah Arya tahu tentang Liora? Atau tentang “Lila AI”? Pertanyaan itu seperti ombak yang bergoyang di laut gelap, tak terjawab, tapi tak berhenti memanggil.
Sore menjelang malam, bayang matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan cahaya pudar ke dalam ruangan. Raka duduk kembali, foto di pangkuannya, tangan memegangnya erat seperti memegang tunas yang telah pergi. “Kau selalu bilang Arya lebih besar dari kita,” bisiknya pada Lila, suaranya penuh kerinduan yang pahit. Kini, ia tahu Lila benar, tapi kebenaran itu datang terlambat, seperti hujan yang tiba setelah pohonnya layu.
Malam semakin larut, lampu kota berkedip seperti bintang yang tak ia raih. Raka duduk diam, foto itu masih di tangannya, seperti pohon tua yang menjaga daun terakhirnya di tengah hutan yang kini asing. Di dadanya, ada getar kecil—seperti cahaya pudar yang mencoba bertahan, menanti suara dari jauh yang mungkin membawa harapan atau hanya bayang baru yang tak ia pahami.
Bab 22: Tangan Muda
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan suara kota yang tak pernah diam, seperti detak jantung yang berdengung di antara gedung-gedung tinggi. Raka duduk di sudut penthouse-nya, tangan memegang foto lama Lila dan Arya yang kini terlipat di saku jaket tua. Bayang Sumba dan “Lila AI” masih bergema di kepalanya, seperti lagu yang tak selesai dinyanyikan. Pintu berderit pelan, dan Naya masuk, langkahnya ringan namun teguh, wajah muda penuh semangat yang kini terasa asing baginya. “Pak Raka,” sapanya, suaranya seperti angin sepoi di tepi hutan, “aku datang lagi.”
Raka mendongak, matanya menyipit menatapnya, seperti pohon tua yang menatap tunas baru di tanah gersang. “Naya,” katanya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “kau masih percaya ada harapan untukku?” Naya tersenyum tipis, duduk di depannya, tablet kecil di tangannya menyala dengan hologram yang berputar—desain jaket hitam sederhana namun penuh cerita. “Bukan buat Anda, Pak,” jawabnya, jarinya menari di udara, “buat Santos. Saya tahu pameran gagal, tapi saya punya cara lain.” Raka menatap hologram itu, hati seperti daun yang disentuh embun kecil.
“Ide yang sama?” tanyanya, suaranya penuh keraguan yang pahit. Naya mengangguk, memperbesar gambar itu. “Tunas, startup saya, Pak. Kami kecil, tapi cepat—AI prediksi tren, micro-factories bikin produk, drone kirim dalam sejam. Saya butuh nama Anda, cerita Santos, buat bikin orang percaya.” Ia mengetuk tabletnya, dan grafik kecil muncul—penjualan stabil dari desain pertamanya, angka-angka seperti tunas yang bertahan di musim kering. “Kita bisa hidupkan Santos lagi, Pak, tapi dengan cara baru,” katanya, matanya berbinar seperti bintang di langit malam.
Raka menatapnya, lalu ke luar jendela—drone Liora melintas, logo berkilau seperti pisau yang memotong masa lalunya. “Aku nggak paham cara baru, Naya,” bisiknya, suaranya seperti angin yang tersesat di hutan asing. “Aku cuma tahu tangan, kain, dan cerita.” Naya menggeleng, tangannya menyentuh meja dengan lembut. “Itu yang bikin Santos beda, Pak. Cerita itu jiwa—AI cuma tangan. Saya bawa tangan muda ini, Anda bawa jiwanya.” Kata-kata itu seperti hujan kecil di tanah kering, tapi Raka hanya diam, tangannya memegang saku tempat foto Lila tersimpan.
Naya membuka aplikasi Tunas di tabletnya, menunjukkan desain baru—syal sutra dengan pola bunga, mirip yang pernah ia buat di Santos. “Ini dari ide Anda, Pak,” katanya, suaranya penuh semangat. “Saya lihat di gudang lama—saya ambil polanya, AI bantu cepetin, dan jadi dalam sehari. Kita bisa mulai kecil, tapi hidup.” Raka menatap syal itu, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang melihat cabang lamanya bertunas lagi. “Hidup,” ulangnya, suaranya penuh kerinduan yang rapuh.
Di luar, anak-anak muda berlalu-lalang, ponsel di tangan mereka menyala dengan pesanan Liora. Raka teringat pameran yang gagal, studio yang bisu, dan pesan Arya—“Kita perlu bicara.” “Aku terlalu tua, Naya,” katanya, suaranya seperti daun yang menanti akhir musim. Naya menatapnya, matanya penuh api yang dulu ia miliki. “Tua bukan berhenti, Pak. Anda punya cerita—biar saya bantu bawa ke dunia ini.” Ia bangkit, meninggalkan tablet di meja, seperti menawarkan tangan yang tak ia ambil.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke dalam ruangan. Raka duduk diam, menatap hologram syal yang berputar—sederhana, tapi penuh makna, seperti Santos di masa jayanya. “Mungkin,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan kota, “tapi aku takut.” Ia teringat Lila, yang selalu bilang, “Arya lebih besar dari kita,” dan kini Naya, tangan muda yang menawarkan tunas baru. Tapi ia hanya duduk, seperti pohon tua yang ragu bertunas di hutan yang kini milik angin lain.
Bab 23: Jalan di Antara
Siang di Jakarta 2030 terasa panas dan penuh dengungan, seperti lebah yang tak pernah diam di sarang raksasa. Raka melangkah keluar dari penthouse-nya, tablet Naya masih tergeletak di meja, hologram syal sutra berputar dalam hening yang ia tinggalkan. Pikirannya penuh bayang—Lila AI dari Sumba, pesan Arya yang tak terjawab, dan tawaran Naya yang seperti tunas di tanah gersang. Ia memutuskan mencari Sita, teman lamanya yang dulu ratu dunia digital, kini bagian dari Liora Ventures. Langkahnya membawanya ke sebuah kafe modern di pusat kota, tempat Sita kini bersemayam—bukan di panggung sorotan, tapi di jalan di antara bayang lama dan baru.
Kafe itu penuh dengan anak muda, ponsel mereka menyala dengan iklan Liora yang berputar di udara. Raka melihat Sita di sudut, duduk dengan tablet besar, wajahnya penuh kerutan tapi matanya masih tajam seperti dulu. “Raka,” sapanya, suaranya hangat seperti kayu yang terbakar pelan, “kau datang.” Ia tersenyum tipis, tangannya mengetuk tablet, dan hologram iklan muncul—seorang gadis mengenakan gaun Liora yang berubah warna, slogan “Cepat, Milikmu” berkilau di udara. Raka duduk di depannya, seperti pohon tua yang menatap daun yang telah jatuh dan tumbuh di pohon lain.
“Kau kerja untuk Liora sekarang?” tanya Raka, suaranya serak seperti angin yang tersesat di hutan asing. Sita mengangguk, matanya penuh cerita yang tak terucap. “Iya, Raka. Dua tahun lalu, klienku pergi—AI ambil alih kontenku. Liora datang, nawarin aku jadi bagian tim pemasaran mereka. Aku nggak punya pilihan.” Ia menatap hologram itu, suaranya penuh kegetiran yang tersembunyi. “Dulu aku bikin cerita dengan tangan, sekarang aku bantu mesin nyanyi. Tapi aku hidup.” Raka menatapnya, seperti kapten yang melihat nahkoda lain berlayar di lautan yang tak lagi miliknya.
“Aku lihat kau di pameran,” lanjut Sita, tangannya mematikan hologram, matanya menatap Raka dengan simpati. “Kau coba cara lama, ya? Aku juga pernah begitu—live streaming, cerita dari hati. Tapi mereka nggak denger lagi, Raka. Liora kasih cepat, murah—itu yang mereka mau.” Raka mengangguk, hati seperti daun yang disentuh angin dingin. “Aku pikir cerita cukup,” bisiknya, suaranya penuh luka yang pahit. Sita tersenyum kecil, “Cerita indah, tapi dunia ini lari—nggak nunggu kita.”
Sita mengetuk tabletnya lagi, menunjukkan iklan Liora yang ia buat—sederhana, tapi penuh daya tarik, dengan suara lembut yang mengalun dari AI. “Aku belajar dari mereka, Raka,” katanya, suaranya seperti angin yang menemukan jalan di antara dahan. “Aku benci mesin ini dulu, tapi sekarang aku pakai—bikin iklan cepat, tepat, kayak dulu aku bikin cerita. Bedanya, aku nggak sendiri lagi.” Raka menatap iklan itu, teringat studio Santos yang bisu, dan pameran yang sepi. “Kau terima mereka?” tanyanya, suaranya seperti pohon yang tahu musimnya telah usai.
“Terima atau tenggelam,” jawab Sita, matanya penuh damai yang rapuh. “Aku pilih jalan di antara—nggak jadi raja lagi, tapi aku masih nyanyi. Kau, Raka? Masih mau bertahan di bayang lama?” Raka tak menjawab, tangannya gemetar seperti daun yang menanti hujan. Ia teringat Naya, tangan muda yang menawarkan tunas baru, dan Arya, suara dari jauh yang belum ia jawab. “Aku nggak tahu,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan kafe.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke dalam kafe. Raka berdiri, menatap Sita yang kembali mengetuk tabletnya, seperti daun yang menemukan pohon baru. “Terima kasih, Sita,” katanya, suaranya pelan seperti angin malam. “Kau tunjukkan jalan lain.” Sita tersenyum, “Jalan di antara, Raka. Pilih atau pergi.” Raka melangkah keluar, seperti pohon tua yang ragu bertunas di hutan yang kini milik angin lain.
Bab 24: Peta yang Hilang
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kelabu yang tipis, seperti kabut yang menyelimuti kenangan yang tak lagi utuh. Raka duduk di sudut penthouse-nya yang sepi, tangan memegang cangkir kosong yang dingin, matanya tertuju pada meja kayu tua di depannya. Pertemuan dengan Sita masih bergema di kepalanya—jalan di antara bayang lama dan baru—tapi hati seperti pohon tua yang akar-akarnya terjebak di tanah yang tak ia kenal lagi. Ia bangkit, langkahnya pelan menuju laci kecil di sudut ruangan, tempat kenangan disembunyikan seperti daun yang gugur di musim kering.
Laci itu berderit saat dibuka, debu beterbangan seperti bisikan waktu yang terlepas. Di dalamnya, tumpukan kertas tua terlipat rapi—dokumen Santos dari masa awal, sketsa desain, dan catatan-catatan kecil yang ditulis tangan. Raka mengambil sebuah map kuning yang usang, jari-jarinya gemetar saat membukanya. Di dalam, sebuah surat terleletak—tulisan tangan Lila, tinta biru yang memudar, bertanggal 2005. “Raka, Santos adalah mimpi kita,” tulisnya, huruf-huruf lembut seperti angin sepoi di tepi hutan. “Buat Arya, ya? Ini warisan kita.” Raka menatap kata-kata itu, hati seperti daun yang disentuh embun yang lama hilang.
Ia teringat malam itu di Semarang, Lila duduk di sampingnya, jarum dan benang di tangannya menari di kain sederhana. “Kita nggak punya banyak, Raka,” katanya, matanya berbinar seperti lampion di pasar malam, “tapi kita punya mimpi. Santos bakal besar—buat kita, buat Arya.” Raka mengangguk, tangannya memegang sketsa pertama mereka, penuh janji yang kini patah. Kini, di 2030, janji itu seperti peta yang hilang—tertulis jelas, tapi jalannya telah lenyap, tersapu oleh badai Liora yang tak ia lihat datang.
Raka duduk kembali, surat itu tergeletak di pangkuannya, jari-jarinya menyentuh tinta yang memudar seperti menyentuh akar yang terkubur. “Aku janji, Lila,” bisiknya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “tapi aku gagal.” Ia teringat Arya, anaknya yang kini jauh di Singapura, dan pesan singkatnya—“Kita perlu bicara”—yang masih menggantung seperti daun di angin. Apakah Arya tahu tentang Santos? Atau tentang “Lila AI” yang Rian sebutkan? Pertanyaan itu seperti ombak yang bergoyang di laut gelap, tak terjawab, tapi terus bergema.
Di luar, drone Liora melintas, suaranya seperti nyanyian asing yang kini jadi bagian kota. Raka menatapnya, lalu kembali ke surat, hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya patah satu per satu. Ia teringat pameran yang gagal, studio yang bisu, dan tawaran Naya yang tak ia ambil. “Warisan kita,” ulangnya, suaranya penuh luka yang pahit. Tapi warisan itu kini hanya kertas usang, peta yang tak lagi menunjukkan jalan, seperti kapten yang kehilangan kompas di lautan malam.
Sore menjelang, matahari tenggelam di balik gedung-gedung, melemparkan bayang panjang ke dalam ruangan. Raka duduk diam, surat itu masih di tangannya, seperti pohon tua yang menjaga daun terakhirnya di tengah hutan yang kini asing. Ia teringat kata-kata Lila, “Arya lebih besar dari kita,” dan kini, di antara bayang Liora dan pesan Arya, ia merasa kebenaran itu mendekat—tapi ia tak tahu apakah itu akan menyelamatkannya atau menghancurkannya lebih dalam.
Malam semakin larut, lampu kota berkedip seperti bintang yang tak ia raih. Raka menatap surat itu sekali lagi, lalu melipatnya kembali, menyimpannya di saku bersama foto keluarga. “Aku janji, Lila,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan, “tapi peta ini hilang.” Di dadanya, ada getar kecil—seperti tunas yang mencoba bertahan di tanah yang kini dingin, menanti langkah berikutnya yang tak ia tahu.
Bab 25: Harap di Penyesalan
Malam di Jakarta 2030 terbit dengan gemerlap yang dingin, seperti bintang-bintang yang jauh di langit tanpa bulan. Raka melangkah masuk ke sebuah restoran mewah di jantung kota, tempat yang dulu jadi panggung kejayaannya bersama para pengusaha fashion. Lantai marmer mengkilap memantulkan lampu gantung kristal yang bergoyang pelan, tapi udara terasa berat—tak ada tawa yang pernah menghidupkan ruangan ini. Ia mengundang tiga teman lama—Bima, Lestari, dan Taufik—yang pernah menggenggam dunia mode di era 2020-an. Mereka datang, wajah seperti kain usang, penuh lipatan dan kehilangan warna, seperti pohon-pohon tua yang ditinggalkan di hutan yang kini asing.
Bima duduk dengan pundak merosot, tangannya memegang gelas anggur yang tak tersentuh. “Pasar cuma mau fast fashion dari AI, Raka,” katanya, suaranya serak seperti benang yang tersangkut. “Desainku nggak laku—terlalu lambat buat Gen Z yang klik apps dan barang dateng sejam.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan lukanya sendiri—studio Santos yang mati, gudang yang bisu. “Aku juga coba, Bima,” bisiknya, suaranya seperti daun yang jatuh pelan, “tapi mereka nggak denger.”
Lestari menggenggam serbetnya erat, matanya berkaca-kaca seperti lautan penyesalan. “NeuroStyle AI kalahin aku, Raka,” katanya, suaranya penuh kepasrahan. “Orang nggak mau baju custom yang aku jahit sebulan—mereka pilih algoritma yang jadi dalam sehari. Aku serahin ke anakku; dia yang ngerti zaman ini.” Raka mengangguk, teringat Naya dan tawaran tunasnya yang tak ia ambil. “Aku juga punya anak,” gumamnya, “tapi aku nggak denger dia.”
Taufik menyandarkan punggungnya ke kursi, wajahnya lesu seperti kayu yang layu di musim kemarau. “Drone Liora bikin distribusiku mati, Raka,” katanya, suaranya rendah seperti bisikan malam. “Aku nggak bisa saingi kecepatan itu. Bahan alami jadi sia-sia—mereka pilih sintetis yang murah.” Raka menelan ludah, rasa sesak di dada seperti pohon tua yang tahu cabangnya telah patah. “Sama, Taufik,” katanya, “Santos terlalu lambat.”
Malam merayap lebih dalam, lampu kristal memantul di meja bundar yang penuh hidangan tak tersentuh. Raka menatap teman-temannya, seperti melihat reruntuhan hutan yang dulu mereka tanam bersama—Bima kalah oleh kecepatan, Lestari oleh algoritma, Taufik oleh distribusi. “Kita semua salah,” katanya, suaranya berat seperti pohon yang menanti akhir, “kita pikir pohon kita abadi, tapi tunas baru yang hidup.” Di kejauhan, drone Liora melintas di luar jendela, suaranya seperti nyanyian yang tak mereka pahami.
Lestari menatapnya, matanya penuh harap yang rapuh. “Aku serahin ke anakku, Raka,” katanya, “mungkin kau juga harus ke Arya.” Kata-kata itu seperti hujan kecil di tanah kering, membangkitkan pesan Arya—“Kita perlu bicara”—yang masih menggantung di hati. Raka mengangguk pelan, tangan gemetar seperti daun yang menanti embun. “Besok aku ke Singapura,” katanya, suaranya penuh tekad yang bercampur penyesalan, “aku mau cerita soal Santos, lihat dunianya.”
Sore menjelang malam, mereka berpamitan dengan pelukan singkat yang penuh kelelahan, meninggalkan Raka sendirian di ambang pintu restoran. Ia menatap bayang dirinya di kaca, seperti pohon tua yang cabang-cabangnya telah gugur. “Aku nggak tahu apa yang menanti,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan kota, “tapi aku harus pergi.” Ia melangkah keluar, tangan di saku memegang foto Lila dan Arya, seperti kapten yang ragu melangkah ke laut baru, tapi tahu tak ada jalan lain.
Bab 26: Langkah Baru
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kelabu yang cepat memudar, seperti kabut yang tersapu angin pagi yang dingin. Raka berdiri di ambang pintu penthouse-nya, tangan memegang koper kecil yang penuh keraguan, matanya tertuju pada langit kota yang mulai cerah. Malam di restoran masih bergema di kepalanya—penyesalan teman-temannya, pesan Arya yang tak terjawab, dan tekad kecil yang lahir dari hening. Ia melangkah keluar, seperti pohon tua yang menapak tanah baru, menuju bandara untuk bertemu dunia yang telah ia tolak selama ini.
Di terminal keberangkatan, Jakarta berdengung dengan suara drone dan langkah-langkah cepat. Raka berdiri di sudut, koper di sampingnya, tiket ke Singapura terlipat rapi di tangan. Tiba-tiba, sebuah suara memanggil, lembut namun teguh, “Pak Raka!” Ia menoleh, melihat Naya berjalan mendekat, tablet kecil di tangannya, wajah muda penuh semangat yang kini terasa lebih dekat. “Naya?” katanya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “kau di sini?”
Naya tersenyum tipis, berdiri di sampingnya. “Saya dengar Anda ke Singapura,” katanya, matanya berbinar seperti bintang di langit pagi. “Saya ikut—ada yang mau saya tunjukkan.” Ia membuka tabletnya, hologram syal sutra berputar di udara—pola bunga yang ia ambil dari stok Santos, kini hidup kembali dengan sentuhan modern. “Saya bawa ide ini, Pak,” lanjutnya, jarinya menari di layar. “Tunas bisa kerja sama Santos—kita kecil, tapi cepat. Anda ke Singapura, mungkin ini saatnya.” Raka menatap syal itu, hati seperti daun yang disentuh embun pertama setelah musim kering.
“Aku nggak yakin, Naya,” katanya, suaranya penuh keraguan yang pahit, “aku ke sana buat Arya, bukan ini.” Naya mengangguk, tangannya menyentuh tablet dengan lembut. “Arya bagian dari ini, Pak. Saya tahu dia di dunia AI—mungkin dia bisa lihat apa yang kita mulai. Saya bawa tangan muda, Anda bawa cerita lama—kita gabungkan.” Raka menatapnya, seperti kapten yang melihat nahkoda muda menawarkan peta baru, tapi langkahnya masih ragu.
Di kejauhan, suara panggilan penerbangan menggema, “Ke Singapura, pintu 12.” Raka menatap koper kecilnya, lalu Naya, hati seperti pohon tua yang akar-akarnya mencoba menjangkau tanah baru. “Baik,” bisiknya, suaranya penuh tekad yang rapuh, “tapi aku nggak janji apa-apa.” Naya tersenyum, “Nggak perlu janji, Pak. Cukup langkah.” Mereka berjalan bersama ke pintu keberangkatan, seperti angin yang membawa daun tua dan tunas muda ke laut yang sama.
Pesawat lepas landas, langit Jakarta memudar di bawah sayap, digantikan awan putih yang terbentang luas. Raka duduk di dekat jendela, Naya di sampingnya, tabletnya mati tapi syal itu masih terngiang di matanya. “Arya,” gumamnya, suaranya hilang dalam dengungan mesin, “apa kau dengar aku sekarang?” Ia teringat Lila, janjinya untuk warisan, dan peta yang hilang—kini, langkah baru ini terasa seperti tali yang menariknya ke depan, tapi ke mana, ia tak tahu.
Sore menjelang saat pesawat mendarat di Changi, langit Singapura cerah dengan kilau modern yang asing. Raka melangkah keluar, Naya di sisinya, koper kecil di tangan seperti beban yang kini lebih ringan. “Kita mulai dari sini, Pak,” kata Naya, suaranya seperti angin yang mendorong daun baru. Raka mengangguk, seperti pohon tua yang ragu bertunas, tapi tahu tak ada jalan kembali—hanya langkah baru di hutan yang kini menantinya.
Bab 27: Bayang di Cermin
Sore di Singapura 2030 terbit dengan kilau yang lembut, matahari memantul di gedung-gedung kaca seperti cermin yang tak pernah pecah. Raka melangkah keluar dari mobil otonom hitam yang membawanya dari bandara, koper kecil di tangan, Naya di sampingnya dengan tablet yang kini diam. Mereka berhenti di depan menara kaca yang menjulang, dindingnya bergerak seperti kulit hidup, pintu otomatis terbuka dengan suara halus. “Ini tempatnya, Pak,” kata Naya, suaranya seperti angin sepoi di tepi hutan. Raka menatap bangunan itu, hati seperti pohon tua yang menatap tunas baru di tanah yang tak ia kenal.
Di dalam, dunia terasa asing—robot humanoid ramping menyambut mereka, lampu LED berkedip pelan, dan layar holografik memenuhi udara dengan desain yang berputar tanpa suara. Hanya segelintir karyawan dengan kacamata VR bekerja di ruang seluas lapangan, seperti bayang yang menari di cermin teknologi. Raka mengikuti Naya ke lantai teratas, langkahnya pelan, seperti kapten yang ragu melangkah ke laut baru. Ruang utama Arya terbuka di depannya, jendela panorama membingkai cakrawala Singapura, dan di tengahnya berdiri Arya—tinggi, tegap, wajahnya seperti cermin muda dirinya sendiri.
“Ayah,” sapa Arya, suaranya lembut namun teguh, matanya tajam penuh mimpi yang dulu ia tolak. Raka terpaku, tangan gemetar seperti daun yang disentuh angin pertama musim semi. “Arya,” katanya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “aku datang.” Naya mundur pelan, meninggalkan mereka, tabletnya masih diam seperti menanti saatnya bicara. Arya melangkah mendekat, memeluknya singkat, dan Raka merasa hati yang lama dingin tiba-tiba hangat, seperti pohon tua yang cabangnya disentuh tunas lama.
“Aku tahu soal Santos,” kata Arya, suaranya penuh harap yang tersembunyi, “dan aku tahu kau ke Sumba.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan bayang dirinya yang hilang. “Liora,” bisiknya, “Rian bilang mereka kalahkan aku dengan Lila AI.” Arya mengangguk, tangannya mengetuk meja kaca, dan hologram muncul—desain pakaian, grafik, peta jaringan yang mirip yang Kael tunjukkan. “Aku lihat, Ayah,” katanya, “tapi ada lebih dari itu.”
Raka menatap ruangan itu—dinding yang berbisik, meja yang bernyanyi, robot yang bergerak senyap—dan hati seperti pohon tua yang tersesat di hutan logam. “Ini duniamu,” katanya, suaranya penuh kagum yang bercampur takut, “tapi aku nggak paham.” Arya tersenyum tipis, “Ayah nggak perlu paham semua. Kau bawa aku ke sini—cerita Santos, mimpi Lila. Aku cuma lanjutin.” Raka mengangguk, teringat surat Lila—“Buat Arya, ya?”—dan mata bergetar seperti daun yang tahu musimnya telah usai.
“Aku bawa Naya,” kata Raka, suaranya ragu seperti angin yang tersesat, “dia punya ide—tunas kecil buat Santos.” Arya menatap ke pintu tempat Naya berdiri, lalu kembali ke Raka. “Aku tahu Tunas, Ayah. Naya cerdas—dia ikut angin yang sama denganku. Tapi kau?” Raka diam, menatap hologram itu, seperti kapten yang melihat peta baru tapi tak tahu caranya berlayar. “Aku takut, Arya,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan ruangan, “takut dunia ini nggak milikku lagi.”
Sore menjelang malam, matahari tenggelam di balik cakrawala Singapura, melemparkan bayang emas ke dalam ruangan. Raka berdiri di jendela, menatap kota yang hidup dengan teknologi, Arya di sampingnya seperti tunas yang telah menjulang. “Kau lebih besar dari aku,” katanya, suaranya penuh penyesalan yang lembut, “tapi aku nggak tahu tempatku di sini.” Arya mengangguk, tangannya menyentuh pundak Raka, “Kau selalu punya tempat, Ayah. Kita cari bareng.” Raka menatapnya, seperti pohon tua yang melihat bayang di cermin—kagum, tapi ragu, menanti langkah berikutnya di hutan baru ini.
Bab 28: Panggilan Hening
Sore di Singapura 2030 memudar menjadi malam, cahaya matahari tenggelam di balik gedung-gedung kaca, menyisakan kilau lembut yang memantul di ruang utama Arya. Raka duduk di kursi kulit di depan meja kaca, tangan memegang cangkir teh yang masih hangat, matanya tertuju pada anaknya yang berdiri di dekat jendela. Arya tinggi, tegap, wajahnya penuh garis mimpi yang dulu ia tolak, kini menjulang seperti pohon baru di hutan teknologi yang tak ia kenal. Hologram pakaian berputar pelan di udara, tapi hening yang menyelimuti ruangan terasa lebih berat dari suara mesin.
“Ayah bilang ke Sumba,” kata Arya, suaranya lembut namun teguh, seperti angin yang membelai daun di malam sunyi. “Kau tahu soal Liora sekarang?” Raka mengangguk, jari-jarinya gemetar seperti daun yang menanti akhir musim. “Rian cerita—Lila AI, micro-factories, kecepatan mereka,” jawabnya, suaranya serak seperti kayu yang retak. “Tapi aku nggak tahu itu kau, Arya.” Arya menatapnya, matanya penuh cerita yang tak terucap, lalu melangkah mendekat, duduk di samping seperti menjembatani lautan yang pernah memisahkan mereka.
Pikiran Raka melayang ke tahun 2025, masa ketika Santos masih berdengung dengan kehidupan. Arya, baru pulang dari kuliah, melangkah masuk ke studio dengan semangat yang membara, tablet kecil di tangannya penuh data dan ide. “Ayah, kita harus pakai AI,” katanya saat itu, duduk di ujung meja panjang, suaranya penuh keyakinan. “Kita bisa prediksi tren, cepetin produksi—Santos bisa lebih besar.” Raka menatapnya, alis berkerut, tangan mengepal di atas kayu mahoni tua. “Kau terlalu muda, Arya,” balasnya, nada tegas seperti angin yang menolak tunas bertumbuh. “Kau nggak tahu rapuhnya bisnis ini. Studio kita, desainer kita—itu cukup.”
Pertarungan itu tumbuh seperti bayang-bayang di bawah matahari sore, memanjang dan menggelap. Setiap rapat menjadi gelanggang tanpa darah—Arya dengan visinya tentang masa depan, Raka dengan keyakinannya pada masa lalu. Tim terpecah, seperti burung yang bingung memilih sarang—beberapa terpikat oleh angka-angka Arya, yang lain setia pada intuisi Raka. “Kita kayak kapal dengan dua nahkoda,” keluh seorang desainer senior di sela kopi pagi, suaranya lirih tapi penuh beban. Raka mendengar, tapi tak bergeming, terlalu tinggi di pohonnya untuk melihat badai yang mendekat.
Konflik itu pecah di penghujung 2025. Sore itu, studio berdengung dengan suara host dan lampu LED, tapi di ruang kecil di belakang, Arya berdiri di depan Raka, langkahnya teguh. “Ayah, aku mundur,” katanya, suaranya tenang namun mengguncang seperti petir di kejauhan. Raka terpaku, matanya melebar, napas tersendat. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya bergetar seperti daun yang hampir jatuh. “Aku ke Singapura, bangun bisnis IT-ku sendiri. Aku udah mulai sejak kuliah—ini jalanku.” Arya berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan Raka dengan hening yang menusuk seperti pisau.
Kini, di 2030, Raka menatap Arya di ruangan futuristik ini, seperti menatap cermin yang memantulkan bayang dirinya yang hilang. “Aku seharusnya dengar kau,” katanya, suaranya penuh penyesalan yang lembut, “tapi aku terlalu yakin.” Arya mengangguk, tangannya menyentuh meja kaca, dan hologram berganti—peta jaringan Liora muncul, mirip yang Rian tunjukkan. “Ayah,” katanya, suaranya seperti angin yang membawa embun, “aku nggak salahkan kau. Kau bikin aku kuat—Santos jadi akar, tapi aku tanam pohon lain.”
Malam semakin larut, lampu Singapura berkedip di luar jendela, seperti bintang yang tak ia raih. Raka duduk diam, hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya patah, tapi tunas baru berdiri di sampingnya. “Aku kehilangan kau, Arya,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan ruangan, “dan Santos.” Arya menatapnya, matanya penuh harap yang rapuh. “Ayah nggak kehilangan aku,” katanya, “kita cuma lelet ketemu. Dan Santos—mungkin masih ada jalan.” Raka mengangguk, seperti kapten yang melihat peta baru, tapi hening itu tetap memanggil, seperti panggilan yang tak terjawab bertahun-tahun lalu.
Bab 29: Surga Sunyi
Pagi di Singapura 2030 memudar menjadi siang yang cerah, tapi Raka dan Arya melangkah masuk ke drone kecil yang membawa mereka kembali ke Sumba, seperti pohon tua dan tunas baru mencari akar di tanah yang sama. Langit biru terbentang luas di atas laut, angin sepoi membelai wajah Raka saat ia duduk di dekat jendela, koper kecil di pangkuan, matanya tertuju pada cakrawala yang tak bertepi. Arya duduk di samping, tablet di tangannya menyala pelan, wajahnya penuh ketenangan yang Raka tak pahami. “Kau yakin, Arya?” tanyanya, suaranya serak seperti kayu yang retak. “Rian perlu tahu,” jawab Arya, suaranya seperti angin yang membawa embun, “dan Ayah perlu lihat.”
Drone mendarat lembut di vila tersembunyi di tebing Sumba, laut biru bergoyang pelan di bawahnya, seperti nyanyian yang tak pernah usai. Pintu otomatis terbuka, dan Sarah menyambut mereka, senyumnya hangat namun teguh. “Selamat datang kembali, Pak Raka,” katanya, lalu menatap Arya, “dan Anda, Pak Arya.” Raka melangkah masuk, ruangan futuristik itu kembali hidup—layar holografik memenuhi udara, robot kecil bergerak senyap, dan dinding kaca menampilkan laut yang berkilau. Rian muncul dari sudut, jas tipisnya bergoyang tertiup angin, matanya melebar saat melihat Arya. “Arya Santoso,” katanya, suaranya penuh kagum, “kau di sini.”
Raka duduk di kursi yang bergetar pelan, Arya di sampingnya, Rian di depan dengan meja kaca yang menyala. “Aku bawa Ayah,” kata Arya, tangannya mengetuk meja, dan hologram peta jaringan Liora muncul—titik-titik kecil bercahaya di seluruh dunia. “Kau tahu Santos milik Ayahku, Rian,” lanjutnya, suaranya teguh seperti angin yang mendorong daun baru, “tapi kau nggak tahu aku di balik Liora.” Rian tersenyum tipis, “Aku tahu Lila AI dari kau, Arya—tapi aku nggak tahu cerita ini.” Raka menatap mereka, seperti pohon tua yang menyaksikan cabang-cabangnya bertemu di hutan baru.
“Kau kalahkan aku, Rian,” kata Raka, suaranya penuh luka yang pahit, “tapi aku nggak tahu itu Arya.” Rian mengangguk, jarinya menari di udara, memperbesar hologram. “Liora cepat, Pak,” katanya, suaranya seperti angin senja, “AI kami—Lila AI—baca tren dalam sekejap, micro-factories kerja tanpa henti, drone antar dalam menit. Kami nggak butuh menara besar—hanya jaringan kecil yang hidup.” Raka menatap peta itu, hati seperti daun yang tersapu angin kencang, teringat studio Santos yang bisu.
Arya melanjutkan, tangannya mengetuk lagi, dan hologram berganti—grafik keuntungan, desain pakaian, dan peta mitra. “Lila AI aku ciptakan buat Santos, Rian,” katanya, matanya menatap ayahnya, “tapi Ayah tolak. Jadi aku bawa ke sini—kau jadi klien pertamaku.” Rian tersenyum, “Dan kau bikin kami terbang, Arya. Tapi Santos—aku nggak tahu itu Ayahmu.” Raka menatap mereka, seperti kapten yang melihat kapalnya tenggelam di tangan nahkoda lain, tapi nahkoda itu anaknya sendiri.
Rian bangkit, mengajak mereka ke teras vila, laut Sumba terbentang luas di bawah tebing. “Lihat ini, Pak,” katanya, menunjuk vila yang sunyi namun hidup. “Kami kecil—aku, tim kecil, dan Lila AI. Tapi kami nyanyi di seluruh dunia—mitra kami di ruko, warung, desa, semua terhubung. Santos besar, tapi terlalu berat.” Raka menatap laut, teringat gudang Santos yang penuh kain tak laku. “Aku pikir besar itu kuat,” bisiknya, suaranya seperti angin yang tersesat, “tapi kau buktikan kecil yang hidup.”
Malam menjelang, matahari tenggelam di ufuk, melemparkan bayang emas ke laut yang tenang. Raka duduk di kursi kayu, Arya di sampingnya, Rian di depan dengan tablet yang menunjukkan peta jaringan. “Ayah,” kata Arya, suaranya penuh harap yang lembut, “Liora bukan akhir Santos—bisa jadi awal baru.” Raka menatapnya, lalu ke Rian, hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya patah, tapi tunas baru berdiri di sampingnya. “Aku nggak tahu caranya, Arya,” katanya, suaranya hilang dalam desiran ombak, “tapi aku dengar kau sekarang.”
Bab 30: Badai Liora
Sore di Sumba 2030 menyisakan cahaya emas yang memudar, laut di bawah tebing vila bergoyang pelan seperti kain yang bernapas. Raka duduk di kursi aneh yang bergetar lembut, menyesuaikan punggungnya seperti pelukan halus, Arya di sampingnya, matanya penuh harap yang tersembunyi. Rian Arifianto berdiri di depan, jas tipisnya bergoyang tertiup angin, ruangan futuristik di sekitarnya hidup dengan teknologi yang tak ia kenal. “Rian,” kata Raka, suaranya serak penuh rasa ingin tahu, “Liora cuma startup kecil lima tahun lalu. Santos aku bangun tiga puluh lima tahun—bagaimana kau kalahkan aku?” Rian tersenyum tipis, melambaikan tangan, dan meja kaca menyala, hologram pakaian berputar di udara seperti daun di angin.
“Kecepatan, Pak Raka,” jawab Rian, suaranya lembut seperti angin senja, “dan efisiensi.” Ia menjentikkan jari, dan lantai menyala, peta dunia kecil muncul di bawah kaki mereka—titik-titik bercahaya tersebar di kota besar dan desa terpencil. “Micro-factories kami ada di mana-mana—sebagian milik kami, sebagian milik mitra yang beli paket kemitraan. Mereka kerja dua puluh empat jam, terhubung ke server pusat, jangkau konsumen yang butuh pakaian cepat.” Raka menatap peta itu, hati seperti pohon tua yang menyaksikan akar-akar baru menjalar di bawah tanah yang tak ia lihat.
Rian melangkah ke dinding kaca, yang tiba-tiba jadi layar besar, menampilkan runway virtual Paris. “AI kami baca komentar pelanggan—dari kami, dari kompetitor—dirangkum dalam detik untuk putuskan langkah berikutnya,” katanya, suaranya penuh wibawa yang halus. Printer kecil di meja mendengung, mencetak jaket mini dalam sekejap, dan Rian menambah, “Kain kami pintar—ubah warna, bentuk, sesuai cuaca atau keinginan, semua lewat aplikasi.” Raka merasa kursinya hangat, sensor di dalamnya membaca degup jantungnya yang kian cepat—ruangan ini hidup, dinding berbisik, meja bernyanyi, seperti hutan logam yang tak ia pahami.
“Tapi kuncinya,” lanjut Rian, nada bangga mengalun, “kami menggunakan engine AI canggih di bidang fashion dengan nama Lila AI.” Raka tersentak, matanya membesar, seperti daun yang disentuh angin kencang tiba-tiba. “Lila?” ulangnya pelan, dan Rian mengangguk, “Ya, Lila AI—mesin yang prediksi tren, baca emosi lewat jam pintar, ciptakan desain personal secepat napas.” Raka tersenyum kecil, hati yang tadinya dingin kini mencair—nama itu, Lila, seperti lagu lama dari Semarang, istrinya yang dulu menjahit bersamanya, kini hidup di badai yang merenggut Santos.
Arya menatapnya, matanya penuh cerita, tapi Rian melanjutkan, tak sadar pada riak di wajah Raka. “Kami punya langganan digital—bayar bulanan, pilih dari lemari virtual, kami kirim, lalu ambil buat daur ulang,” katanya, tangannya mengetuk meja, dan hologram menari—orang-orang “mencoba” baju dengan gestur tangan. “Kampanye kami pakai hologram di jalanan—beli tanpa toko. Mitra kami—ruko, warung, desa—terhubung ke cloud, nggak perlu gudang besar.” Raka menatap, seperti kapten yang melihat kapalnya tenggelam di lautan yang tak ia kuasai.
“Sumba cuma markas kecil,” tambah Rian, menunjuk vila yang sunyi, “tapi server kami nyanyi ke seluruh dunia. Kami kecil, Pak, tapi jaringan kami raksasa—cepat, murah, efisien.” Ia mengetuk lagi, peta keuntungan muncul—garis menanjak bagai bukit yang tak ia daki. “Ini soal waktu dan tepat,” katanya, suaranya seperti angin yang membawa badai. Raka menatapnya, lalu ke printer kecil yang diam, dan ke laut di luar—Santos, tiga puluh lima tahunnya, lenyap dalam badai ini.
Malam menjelang, matahari tenggelam di ufuk, melemparkan bayang emas ke laut yang tenang. Raka berdiri, tangan gemetar, hati penuh takjub dan keputusasaan yang bercampur. “Lila AI,” gumamnya lagi, nama itu bergema seperti nyanyian dari hutan lama. Arya menyentuh pundaknya, suaranya pelan, “Itu aku, Ayah—buat Santos, tapi kau nggak mau.” Raka menatapnya, seperti pohon tua yang tahu tunasnya telah menjulang, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kecil di tengah badai yang tak ia lihat datang.
Bab 31: Harap di Penyesalan
Malam di Jakarta 2030 turun dengan gemerlap yang dingin, seperti bintang-bintang yang jauh di langit tanpa bulan. Raka melangkah masuk ke restoran mewah di jantung kota, tempat yang dulu jadi panggung kejayaannya, kini terasa seperti makam nostalgia. Lantai marmer mengkilap memantulkan lampu gantung kristal yang bergoyang pelan, tapi udara berat—tak ada denting gelas atau tawa yang pernah hidup di sini. Ia mengundang tiga teman lama—Bima, Lestari, dan Taufik—dan Naya, yang kini berdiri di sampingnya, tablet kecil di tangan seperti tunas yang menanti hujan. Mereka datang, wajah seperti kain usang, penuh lipatan dan kehilangan warna, seperti pohon-pohon tua yang ditinggalkan di hutan yang kini asing.
Bima duduk dengan pundak merosot, gelas anggur di tangannya tak tersentuh. “Pasar cuma mau fast fashion dari AI, Raka,” katanya, suaranya serak seperti benang yang tersangkut. “Desainku nggak laku—terlalu lambat buat Gen Z yang klik apps dan barang dateng sejam.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan lukanya sendiri—studio Santos yang bisu, pameran yang gagal. “Aku coba bertahan, Bima,” katanya, suaranya seperti daun yang jatuh pelan, “tapi Liora terlalu cepat.”
Lestari menggenggam serbetnya erat, matanya berkaca-kaca seperti lautan penyesalan. “NeuroStyle AI kalahin aku, Raka,” katanya, suaranya penuh kepasrahan. “Orang nggak mau baju custom yang aku jahit sebulan—mereka pilih algoritma yang jadi dalam sehari. Aku serahin ke anakku; dia ngerti zaman ini.” Raka mengangguk, teringat Sumba dan “Lila AI”—karya Arya yang ia tolak. “Aku juga punya anak,” bisiknya, “dan aku nggak denger dia.” Naya menatapnya dari samping, matanya penuh harap yang tersembunyi.
Taufik menyandarkan punggungnya ke kursi, wajahnya lesu seperti kayu yang layu di musim kemarau. “Drone Liora bikin distribusiku mati, Raka,” katanya, suaranya rendah seperti bisikan malam. “Aku nggak bisa saingi kecepatan itu—bahan alami jadi sia-sia, mereka pilih sintetis murah.” Raka menelan ludah, rasa sesak seperti pohon tua yang tahu cabangnya patah. “Aku ke Sumba, Taufik,” katanya, suaranya penuh luka, “lihat Liora—jaringan kecil, tapi raksasa. Dan Arya… dia di baliknya.” Taufik menatapnya, matanya melebar, seperti daun yang tersentuh angin kencang.
Malam merayap lebih dalam, lampu kristal memantul di meja bundar yang penuh hidangan tak tersentuh. Raka menatap teman-temannya, seperti melihat reruntuhan hutan yang dulu mereka tanam bersama—Bima kalah oleh kecepatan, Lestari oleh algoritma, Taufik oleh distribusi. “Kita semua salah,” katanya, suaranya berat seperti pohon yang menanti akhir, “kita pikir pohon kita abadi, tapi tunas baru yang hidup.” Naya mengangguk pelan di sampingnya, tabletnya menyala, hologram syal sutra berputar seperti tunas yang menanti hujan.
Lestari menatapnya, matanya penuh harap yang rapuh. “Aku serahin ke anakku, Raka,” katanya, “kau ke Arya—apa dia bilang?” Raka mengangguk, tangan gemetar seperti daun yang menanti embun. “Dia bilang ada jalan,” katanya, suaranya penuh tekad yang bercampur penyesalan, “tapi aku nggak tahu caranya.” Naya menyentuh tabletnya, suaranya lembut, “Saya bawa ide, Pak—Tunas sama Santos, kecil tapi cepat. Arya bisa bantu.” Bima menatapnya, “Kau muda, Naya—mungkin kau yang bawa harap kami.”
Sore menjelang malam, mereka berpamitan dengan pelukan singkat yang penuh kelelahan, meninggalkan Raka dan Naya di ambang pintu restoran. Raka menatap bayang dirinya di kaca, seperti pohon tua yang cabang-cabangnya gugur, tapi ada tunas kecil di sampingnya—Naya, dan Arya di kejauhan. “Aku takut, Naya,” bisiknya, suaranya hilang dalam dengungan kota, “tapi aku coba.” Naya tersenyum, “Langkah kecil, Pak. Itu cukup.” Raka melangkah keluar, tangan di saku memegang foto Lila dan Arya, seperti kapten yang melangkah ke laut baru, penuh harap di tengah penyesalan.
Bab 32: Kebenaran Singapura
Pagi di Jakarta 2030 terbit dengan kelabu yang cepat memudar, digantikan langit Singapura yang cerah saat Raka melangkah keluar dari pesawat di Changi. Koper kecil di tangannya terasa lebih ringan, tapi hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya gemetar di angin baru. Naya berjalan di sampingnya, tablet kecil menyala dengan hologram syal sutra, langkahnya teguh seperti tunas yang tahu musimnya telah tiba. Mobil otonom hitam menjemput mereka, meluncur mulus melalui jalanan yang berkilau, menuju menara kaca yang dulu ia lihat—kantor Arya, tempat kebenaran menanti.
Pintu otomatis terbuka, dan dunia futuristik menyambut kembali—robot humanoid bergerak senyap, layar holografik memenuhi udara, dan dinding kaca membingkai cakrawala Singapura. Arya berdiri di ruang utama, tinggi dan tegap, wajahnya penuh garis mimpi yang kini hidup. “Ayah,” sapanya, suaranya lembut namun teguh, seperti angin yang membelai daun baru. Raka melangkah mendekat, tangan gemetar seperti daun yang menanti hujan, “Arya, aku balik.” Naya berdiri di samping, diam seperti tunas yang menanti saatnya bertumbuh.
Raka duduk di kursi kulit, Arya di depan, meja kaca menyala dengan peta jaringan yang kini acquainted. “Aku ke Sumba lagi,” kata Raka, suaranya serak seperti kayu yang retak, “Rian cerita soal Liora—Lila AI, kecepatan mereka. Tapi aku nggak tahu itu kau.” Arya mengangguk, tangannya mengetuk meja, dan hologram berganti—grafik, desain, dan peta mitra Liora muncul, lebih luas dari yang Rian tunjukkan. “Aku yang mulai, Ayah,” katanya, suaranya penuh cerita, “tapi aku nggak bilang—aku takut kau tolak lagi.”
Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan bayang dirinya yang hilang. “Kau ciptain Lila AI?” tanyanya, hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya patah satu per satu. Arya mengangguk, matanya menatap lurus. “Waktu di Santos, aku kembangkan AI itu—harusnya buat kita, Ayah. Tapi kau bilang itu buang waktu.” Raka teringat 2026, malam ketika Arya pergi, tablet di tangannya penuh ide yang ia bentak. “Aku lanjutin sendiri,” lanjut Arya, “dan aku jual ke perusahaan mode dunia—Rian salah satunya. Liora jadi anak perusahaanku dua tahun lalu.”
Raka tersentak, jantungnya berdegup seperti drum yang dipukul badai. “Liora milikmu?” ulangnya, suaranya penuh kagum yang bercampur luka. Arya tersenyum tipis, “Ya, Ayah. Rian nggak tahu Santos milikmu—aku sembunyikan. Aku biarkan dia beli saham Santos, karena aku tahu cara lamamu nggak bertahan. Aku nggak mau kau lihat akhirnya sendiri.” Raka menatap lantai, seperti kapten yang melihat kapalnya tenggelam di tangan nahkodanya sendiri, tapi nahkoda itu anaknya.
Naya melangkah maju, tabletnya menyala, hologram syal sutra berputar pelan. “Pak Arya,” katanya, suaranya seperti angin yang mendorong tunas baru, “aku bawa Tunas—ide kecil buat Santos. Pak Raka bawa cerita, aku bawa cepat. Kita bisa gabung?” Arya menatapnya, lalu ke Raka, matanya penuh harap yang lembut. “Kau bawa Naya, Ayah?” tanyanya, dan Raka mengangguk, “Dia bilang ada jalan—aku nggak yakin, tapi aku coba.” Arya tersenyum, “Tunas bagus, Naya. Dan Santos—aku punya rencana.”
Malam menjelang, lampu Singapura berkedip di luar jendela, seperti bintang yang kini lebih dekat. Raka berdiri, tangan gemetar, hati seperti pohon tua yang tahu tunasnya telah menjulang. “Aku salah, Arya,” katanya, suaranya penuh penyesalan yang mendalam, “aku nggak denger kau.” Arya melangkah mendekat, tangannya menyentuh pundak Raka, “Ayah, kau bikin aku kuat. Sekarang kita bareng.” Raka menatapnya, seperti menatap cermin yang memantulkan kebenaran—kagum, tapi damai, di tengah badai yang kini terungkap.
Bab 33: Pelukan di Menara
Malam di Singapura 2030 terbit dengan gemerlap yang lembut, lampu kota berkedip seperti kunang-kunang di langit tanpa batas. Raka berdiri di ruang utama kantor Arya, jendela panorama membingkai cakrawala yang hidup, tangan gemetar seperti daun yang menanti hujan setelah musim kering. Arya berdiri di sampingnya, tinggi dan tegap, matanya penuh mimpi yang kini jadi nyata, seperti tunas yang telah menjulang dari pohon tua yang pernah ia tolak. Hologram pakaian berputar pelan di udara, tapi hening yang menyelimuti ruangan terasa hangat, seperti pelukan yang lama hilang.
“Ayah,” kata Arya, suaranya lembut namun teguh seperti angin yang membelai daun baru, “maafkan aku. Aku pergi, ninggalin kau sendirian.” Raka menatapnya, matanya basah seperti embun yang tiba di malam sunyi. “Arya, maafkan Ayah,” katanya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “Aku salah—nggak denger kau, nggak percaya kau. Santos aku pikir abadi, tapi aku yang bodoh.” Arya melangkah mendekat, memeluknya erat, dan Raka merasa hati yang lama patah tiba-tiba utuh—like pohon tua yang cabangnya kembali bertemu tunas lama.
Mereka duduk di kursi kulit, meja kaca di depan menyala dengan peta jaringan yang kini terang. “Lika Corps,” kata Arya, tangannya mengetuk meja, dan hologram berganti—logo sederhana muncul, dua huruf “L” dan “R” menyatu dalam garis modern. “Lila dan Raka—nama Ayah dan Ibu. Ini perusahaanku, Ayah, dan Liora cuma bagian kecilnya.” Raka menatap logo itu, hati seperti daun yang tersapu angin kencang, teringat surat Lila—“Buat Arya, ya?”—dan janji yang ia gagal penuhi.
“Lika Corps?” ulangnya, suaranya penuh kagum yang rapuh. Arya mengangguk, matanya berbinar seperti bintang di langit malam. “Aku bangun ini buat kalian—cerita Santos, cinta Ibu, dan kerja keras Ayah. Liora cuma permulaan—aku punya rencana lebih besar, AI nggak cuma buat fashion, tapi buat hidup manusia.” Raka menatapnya, seperti kapten yang melihat peta baru di tangan nahkoda muda, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kecil tapi bangga—pohon tua yang tunasnya menjulang lebih tinggi dari dahan-dahannya.
“Aku butuh kau, Ayah,” lanjut Arya, suaranya penuh harap yang teguh, “pengalamanmu, kebijaksanaanmu. Lika Corps perlu komisaris utama—kau.” Raka tersentak, matanya melebar seperti daun yang disentuh angin pertama musim semi. “Aku?” katanya, suaranya seperti pohon yang tahu musimnya telah usai. “Arya, aku nggak paham dunia ini—AI, mesin, kecepatan.” Arya tersenyum, tangannya menyentuh pundak Raka, “Ayah nggak perlu paham semua—kau bawa hati, aku bawa tangan. Kita bareng.”
Malam semakin larut, lampu Singapura berkedip di luar jendela, seperti bintang yang kini lebih dekat. Raka berdiri, tangan gemetar tapi hati penuh—penyesalan memudar, diganti kebanggaan yang lembut seperti embun di daun baru. “Aku bangga, Arya,” katanya, suaranya parau namun teguh, “kau lebih hebat dari Ayah—jauh lebih hebat.” Arya mengangguk, matanya basah tapi ia tahan airnya, “Ayah ajarin aku bertahan—aku cuma lanjutin apa yang kau mulai.” Mereka berdiri bersama, seperti pohon tua dan tunas yang berteduh di bawah langit yang sama.
Hologram kecil di sudut ruangan memutar desain syal sutra Naya, tapi Raka tak lagi menatapnya—ia menatap Arya, seperti menatap cermin yang memantulkan warisan yang hidup. “Baik, Arya,” katanya, suaranya penuh damai, “aku coba—tapi aku nggak janji banyak.” Arya tersenyum, “Cukup coba, Ayah. Kita pelan-pelan.” Raka mengangguk, pelukan di menara ini seperti akar yang kembali menyatu, di tengah hutan teknologi yang kini jadi surga baru mereka.
Bab 34: Cahaya Makam Lila
Pagi di Singapura 2030 cepat memudar saat Raka dan Arya melangkah masuk ke pesawat kecil yang membawa mereka ke Semarang, kota kelahiran yang kini memanggil kembali. Langit biru berganti awan tipis, dan drone mendarat lembut di bukit kecil di tepi kota, tempat Lila, cinta abadi Raka, beristirahat dalam damai. Raka melangkah keluar, koper kecil ditinggalkan, tangan memegang foto keluarga yang kini terasa lebih ringan. Arya di sampingnya, langkahnya teguh seperti tunas yang tahu akarnya, menuju nisan sederhana yang bertulis “Lila Santoso, 1975–2020.”
Raka berdiri di depan nisan itu, angin sepoi membawa aroma tanah basah dan melati yang ia letakkan di atas batu. Sepuluh tahun telah berlalu sejak Lila pergi, tapi hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya tetap mencengkeram kenangan—gadis Semarang yang ia temui di tepi Sungai Banjir Kanal, yang menikah dengannya di bawah beringin tua, yang melahirkan Arya di rumah kayu sederhana. “Lila, kau bawa aku pulang,” bisiknya, suaranya serak seperti kayu yang retak, “dan lihat—anak kita jadi kebanggaan kita.”
Arya berlutut di samping nisan, tangannya menyentuh batu itu dengan cinta, matanya penuh cerita yang tak terucap. Raka menatapnya, air mata seperti embun yang jatuh ke tanah Semarang, tempat cinta mereka bermula. “Kau ajarin Arya soal hati, Lila,” katanya pada nisan itu, suaranya parau penuh kerinduan, “dan aku gagal dengar dia.” Ia teringat malam-malam di rumah kayu, Lila menjahit kain dengan tangan lembut, berkata, “Arya bakal lebih besar dari kita, Raka. Percaya dia.” Kini, kata-kata itu terbukti, seperti hujan yang tiba setelah musim kering.
Langit Semarang cerah perlahan, sinar matahari menyelinap di antara pepohonan, tapi Raka masih terpaku di depan nisan. “Aku salah, Lila,” katanya, matanya basah seperti daun yang disentuh embun pertama, “aku kira Santos segalanya, tapi Arya yang jadi pohon kita.” Arya bangkit, berdiri di sampingnya, tangannya menyentuh pundak Raka. “Ayah, Ibu tahu,” katanya, suaranya seperti angin yang membawa harap, “dia selalu bilang kau kuat—dan kau bikin aku kuat.”
Raka menatapnya, lalu ke nisan, hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya patah tapi akar-akarnya hidup kembali. “Aku mau pensiun, Arya,” katanya, suaranya teguh namun penuh damai, “kau udah lebih besar dari mimpiku—dari mimpi Ibu. Aku cukup.” Arya menggeleng, matanya penuh kerinduan yang lembut, “Jangan pensiun, Ayah. Lika Corps butuh kau—pengalamanmu, hatimu. Kita bareng.” Raka tersentak, seperti kapten yang melihat peta baru di tangan nahkoda muda.
“Lika Corps,” ulangnya, suaranya penuh kagum yang rapuh, “Lila dan Raka—kau bikin ini buat kami.” Arya tersenyum, “Buat kalian, Ayah. Aku abadiin cinta kalian—Santos jadi benih, Lika jadi pohonnya.” Raka menatap nisan Lila, hati seperti daun yang tahu musimnya telah usai tapi tunas baru menjulang di samping. “Baik, Arya,” katanya, suaranya penuh damai, “aku coba—buat kau, buat Ibu.”
Sore menjelang, matahari tenggelam di ufuk, melemparkan cahaya emas ke bukit yang sunyi. Raka dan Arya berdiri bersama, tangan mereka bersentuhan seperti akar yang kembali menyatu, menatap nisan Lila dengan hati penuh—penyesalan memudar, diganti kebanggaan yang lembut seperti embun di daun baru. “Lila, kita berhasil,” bisik Raka, suaranya seperti angin yang membawa nyanyian lama, “cahayamu hidup di dia.” Mereka melangkah pergi, seperti pohon tua dan tunas yang berteduh di bawah langit yang kini jadi milik mereka.
Bab 35: Akar yang Hidup
Sore di Semarang 2030 memudar menjadi senja, cahaya emas matahari tenggelam menyelinap di antara pepohonan bukit kecil, membelai nisan Lila dengan kehangatan yang lembut. Raka berdiri di depan batu sederhana itu, tangan memegang melati yang ia letakkan dengan hati-hati, matanya basah seperti daun yang disentuh embun terakhir musim. Arya berdiri di sampingnya, tinggi dan tegap, tangannya penuh cinta yang tak terucap saat menyentuh nisan ibunya. Angin sepoi membawa aroma tanah basah, seperti bisikan Lila yang masih hidup di antara mereka, dan Raka merasa seperti pohon tua yang akar-akarnya kembali menemukan air.
“Ayah setuju jadi komisaris Lika Corps,” kata Raka, suaranya parau namun teguh, seperti kayu yang retak tapi masih berdiri. “Tapi aku mau pensiun pelan—duduk di tepi Pantai Marina, cerita ke Ibu soal kau.” Arya tersenyum kecil, matanya penuh harap yang lembut, “Ayah boleh ke pantai kapan saja, tapi Lika butuh kau dulu—pengalamanmu, hatimu.” Raka menatapnya, seperti kapten yang melihat nahkoda muda menawarkan peta baru, dan untuk pertama kalinya, ia merasa damai—cabang-cabangnya patah, tapi akar-akarnya hidup kembali.
Arya duduk di rumput basah di samping nisan, tangannya menyentuh tanah seperti mencari jejak ibunya. “Ibu selalu bilang Ayah kuat,” katanya, suaranya seperti angin yang membawa embun, “dan kau bikin aku kuat—Santos jadi benih, Lika jadi pohonnya.” Raka mengangguk, duduk di sampingnya, matanya tertuju pada tulisan “Lila Santoso” yang kini berkilau di bawah cahaya senja. “Kau lebih besar dari kami, Arya,” katanya, suaranya penuh kebanggaan yang lembut, “Lila tahu—dia selalu tahu.”
Raka teringat malam-malam di rumah kayu Semarang, Lila menjahit kain dengan tangan lembut, suaranya penuh cinta, “Raka, Santos buat Arya, ya? Warisan kita.” Ia gagal memenuhi janji itu dengan tangannya sendiri, tapi kini Arya membawanya lebih jauh—Lika Corps, pohon baru yang akar-akarnya hidup dari benih Santos. “Aku gagal, Lila,” bisiknya pada nisan itu, “tapi kau berhasil—lewat dia.” Air mata jatuh pelan, seperti embun yang membasahi tanah kering, tapi hati terasa ringan, seperti pohon yang tahu tunasnya telah menjulang.
Arya menatapnya, tangannya menyentuh pundak Raka. “Ayah nggak gagal,” katanya, suaranya teguh seperti angin yang mendorong daun baru, “kau bawa aku ke sini—cerita Santos, cinta Ibu. Lika Corps jadi pohon kita bertiga.” Raka tersenyum, matanya basah tapi penuh damai, “Kau abadiin kami, Arya—Lila dan Raka.” Ia menatap nisan itu, seperti menatap cermin yang memantulkan akar yang hidup, dan untuk pertama kalinya, penyesalan memudar sepenuhnya, diganti cahaya yang lembut.
Malam menyelimuti bukit, bintang-bintang muncul di langit Semarang seperti kunang-kunang yang berkedip pelan. Raka berdiri, tangan Arya di sampingnya, seperti pohon tua dan tunas yang berdampingan di hutan yang kini jadi milik mereka. “Aku coba, Arya,” katanya, suaranya penuh damai, “buat kau, buat Ibu—tapi aku mau duduk di pantai nanti, cerita ke Lila soal kita.” Arya tersenyum, “Kita bareng dulu, Ayah—Lika butuh kita.” Raka mengangguk, seperti kapten yang menerima peta baru, tahu akar-akarnya hidup lagi di tangan tunas yang ia tanam.
Senja usai, cahaya terakhir memudar di nisan Lila, tapi Raka merasa hangat—like pohon tua yang tahu musimnya telah berganti, tapi akar-akarnya tetap hidup, menyatu dengan tunas yang menjulang ke langit. “Terima kasih, Lila,” bisiknya, suaranya seperti angin yang membawa nyanyian lama, “kau bikin kita utuh.” Mereka berdiri bersama, hati penuh damai, seperti pohon yang berteduh di bawah langit yang kini jadi surga mereka.
Bab 36: Sungai Abadi
Senja di Semarang 2030 memudar menjadi malam, cahaya terakhir matahari tenggelam menyelinap di antara pepohonan bukit kecil, meninggalkan kilau lembut di nisan Lila. Raka berdiri di depan batu sederhana itu, tangan memegang melati yang kini layu di atasnya, matanya basah seperti daun yang menanti embun terakhir musim. Arya berdiri di sampingnya, tinggi dan tegap, tangannya penuh cinta yang tak terucap saat menyentuh tanah di dekat ibunya. Angin sepoi membawa aroma tanah basah dan laut jauh, seperti bisikan Lila yang menyatu dengan sungai abadi di hati mereka.
Raka menatap nisan itu, lalu ke Arya, hati seperti pohon tua yang cabang-cabangnya patah tapi akar-akarnya hidup kembali. “Cinta itu seperti sungai, Arya,” katanya pelan, suaranya serak namun teguh seperti kayu yang telah bertahan badai, “mengalir diam, tapi mengukir lembah yang abadi.” Arya mengangguk, matanya penuh damai yang lembut, “Itu yang Ibu ajarin aku, Ayah—dan kau yang bikin aku jadi sungai itu.” Raka tersenyum kecil, air mata seperti embun yang jatuh ke tanah Semarang, tempat cinta mereka bermula dan kini berakhir.
Langit malam membentang luas, bintang-bintang berkedip seperti kunang-kunang yang tak pernah padam. Raka teringat malam-malam di rumah kayu, Lila menjahit kain dengan tangan lembut, suaranya penuh harap, “Santos buat Arya, ya? Warisan kita.” Ia gagal membawanya dengan tangannya sendiri, tapi Arya telah mengukir sungai baru—Lika Corps, pohon yang akar-akarnya hidup dari benih Santos, mengalir lebih jauh dari mimpinya. “Lila, kau lihat dia,” bisiknya pada nisan itu, “sungai kita mengalir ke laut yang nggak aku bayangin.”
Arya melangkah mendekat, tangannya menyentuh pundak Raka seperti akar yang kembali menyatu. “Ayah, Lika Corps jadi milik kita bertiga,” katanya, suaranya seperti angin yang membawa embun, “kau, Ibu, dan aku—abadi di sini.” Raka mengangguk, matanya menatap bintang-bintang, seperti kapten yang melihat peta terakhir di tangan nahkoda muda. “Aku coba, Arya,” katanya, suaranya penuh damai, “buat kau, buat Ibu—tapi nanti aku duduk di pantai, cerita ke Lila soal kita.”
Mereka berdiri bersama, hati penuh—penyesalan memudar, diganti kebanggaan dan cinta yang lembut seperti sungai yang tak pernah berhenti. Raka menatap nisan Lila sekali lagi, tangan Arya di sisinya, seperti pohon tua dan tunas yang berteduh di bawah langit yang kini jadi milik mereka. “Kita berhasil, Lila,” katanya, suaranya seperti daun yang terlepas di angin malam, “kau tanam benih, dia ukir sungai, dan aku cuma ikut mengalir.” Air mata jatuh pelan, tapi hati terasa ringan, seperti pohon yang tahu musimnya telah usai tapi akar-akarnya abadi.
Malam menyelimuti bukit, bintang-bintang bersinar terang di atas Semarang, seperti lampion yang Lila nyalakan di pasar malam dulu. Raka dan Arya melangkah pergi, tangan mereka bersentuhan, seperti sungai yang mengalir bersama menuju laut tak bertepi. “Terima kasih, Lila,” bisik Raka dalam hati, suaranya hilang dalam desiran angin, “cahayamu abadi.” Mereka meninggalkan bukit, seperti pohon tua dan tunas yang tahu akar mereka hidup selamanya, di ujung bayang-bayang yang akhirnya bertemu cahaya.
Di kejauhan, Semarang 2030 berdengung pelan, teknologi baru menyanyi di bawah langit yang sama. Tapi di sini, di makam Lila, waktu berhenti—hanya ada Raka, Arya, dan cinta yang mengalir seperti sungai abadi, membawa warisan mereka melintasi hutan yang kini jadi surga.
END