Saat ini Saya sedang tenggelam dalam buku “Four Battlegrounds: Power in the Age of Artificial Intelligence” karya Paul Scharre. Bab pertamanya langsung menohok dengan judul bagaimana minyak pernah menjadi faktor utama dalam perubahan kekuatan global dan kini, peran itu diambil alih oleh kecerdasan buatan (AI). Buku ini menyajikan pandangan yang kuat bahwa AI bukan hanya inovasi teknologi, tetapi juga sumber daya baru yang akan mengubah geopolitik, seperti halnya minyak mengubah dunia pada abad ke-20.
AI Sebagai “Minyak Baru”
Seperti yang terjadi dengan minyak di era revolusi industri, negara yang menguasai AI akan mendominasi banyak sektor. Scharre menggambarkan bagaimana AI, dengan kemampuannya yang luar biasa untuk mengolah data dan membuat keputusan cerdas, kini menjadi komoditas strategis. AI digunakan dalam militer, ekonomi, dan bahkan politik, menjadikannya senjata baru dalam perebutan kekuasaan global.
Contohnya, di Amerika Serikat, pengembangan sistem senjata otonom yang didorong oleh AI sudah mulai menunjukkan dampaknya. Program AlphaDogfight Trials, di mana AI secara konsisten mengalahkan pilot manusia dalam simulasi pertempuran udara, adalah bukti nyata bagaimana AI dapat meningkatkan kekuatan militer. AI dapat membuat manuver yang tidak bisa dilakukan manusia karena keterbatasan fisik. Ini seperti menemukan cara baru untuk memanfaatkan minyak—dalam hal ini, bukan untuk menggerakkan mesin, tetapi untuk menggerakkan keputusan strategis di medan perang.
Namun, AI bukan hanya milik militer. Seperti halnya minyak yang juga memengaruhi ekonomi global, AI kini menjadi pusat inovasi ekonomi. Negara-negara seperti China, yang telah menanamkan investasi besar-besaran dalam pengembangan AI, mulai mengambil posisi dominan dalam ekonomi global. China, dengan lebih dari 500 juta kamera pengawas yang didukung oleh teknologi AI, telah menciptakan sistem pengawasan yang tak tertandingi. Di saat yang sama, perusahaan teknologi di Amerika Serikat juga menggunakan AI untuk menciptakan solusi bisnis yang lebih efisien, mulai dari otomasi industri hingga perawatan kesehatan.
Mengapa AI Disebut “Minyak Baru”?
Banyak ahli menyebut AI sebagai “minyak baru” karena AI memiliki kesamaan dengan minyak dalam beberapa aspek utama. Pertama, seperti minyak, AI adalah sumber daya yang sangat dicari karena potensinya untuk menggerakkan banyak sektor. Negara dan perusahaan berlomba-lomba untuk memanfaatkan AI guna mendapatkan keunggulan kompetitif, baik dalam militer, bisnis, maupun inovasi teknologi.
Kedua, AI, seperti minyak, memerlukan pengolahan sebelum dapat digunakan secara efektif. Data adalah bahan mentah AI, mirip dengan minyak mentah yang harus disuling sebelum digunakan. Semakin banyak data yang dapat dikumpulkan dan diolah, semakin kuat kecerdasan buatan yang dapat dikembangkan. Negara dengan akses terbesar terhadap data memiliki keunggulan besar dalam mengembangkan AI yang lebih maju.
Namun, ada perbedaan besar antara AI dan minyak. Tidak seperti minyak yang akan habis, data yang menjadi bahan bakar AI terus bertambah setiap hari. Ini membuat AI menjadi sumber daya yang, dalam teori, tak terbatas. Semakin banyak perangkat yang terhubung ke internet, semakin besar jumlah data yang dapat dimanfaatkan untuk melatih AI.
Dampak AI Terhadap Geopolitik
AI, seperti halnya minyak, memiliki dampak besar terhadap politik global. Negara yang menguasai AI akan memiliki pengaruh besar dalam menetapkan kebijakan global. Dalam buku ini, Scharre menekankan bahwa AI bukan hanya alat untuk meningkatkan kekuatan militer, tetap