Likes vs. Dislikes: Strategi Menjadi Influencer di Era Media Sosial

Baru-baru ini, saya menonton sebuah series di Netflix berjudul The Influencer. Di sana, para selebgram, seleb TikTok, dan YouTuber berkumpul untuk menghadapi tantangan. Di episode pertama, mereka ditantang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin likes dan dislikes. Uniknya, dalam dunia influencer, dislikes tidak selalu berarti buruk. Terkadang, perhatian negatif justru dapat menghasilkan keterlibatan (engagement) yang sama besar dengan perhatian positif.

Ini menggambarkan salah satu teori dalam dunia influencer marketing—bahwa citra yang dibangun tidak selalu harus positif untuk bisa menarik perhatian. Seperti yang dijelaskan oleh Hughes, Swaminathan, dan Brooks dalam penelitian mereka, konten yang memiliki kesan kuat, baik positif maupun negatif, dapat meningkatkan keterlibatan dengan merek atau individu . Teori ini juga dijelaskan dalam buku Will Post for Profit, di mana para influencer tidak hanya menjual kebaikan mereka tetapi juga kelemahan dan sisi kontroversial mereka .

Sebuah studi kasus menarik dari Indonesia muncul pada saat pandemi COVID-19. Di masa yang penuh ketidakpastian tersebut, ada dua tokoh fenomenal yang namanya mencuat karena pengaruh mereka di masyarakat. Dr. Tirta, seorang dokter muda yang gencar mengedukasi masyarakat tentang bahaya COVID-19, menjadi tokoh yang dihormati karena selalu menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang akurat dan mendidik. Ia memanfaatkan pengaruhnya di media sosial untuk menyebarkan informasi tentang pentingnya protokol kesehatan dan menjaga keselamatan publik.

Di sisi lain, Jerinx, drummer dari band Superman Is Dead, mengambil pendekatan yang sangat berbeda. Jerinx mencuat karena kontroversi yang ia ciptakan dengan menyuarakan teori konspirasi tentang COVID-19. Ia menuduh pandemi ini hanyalah rekayasa yang dibuat untuk menakut-nakuti masyarakat, sebuah sudut pandang yang mengundang banyak perhatian dan kritik. Jerinx bahkan sampai harus berurusan dengan hukum karena pernyataannya yang menentang program vaksinasi dan otoritas kesehatan .

Kedua tokoh ini menunjukkan dua sisi yang sangat berbeda dari dunia influencer. Dr. Tirta membangun citra positif dan edukatif, mengajak orang untuk lebih peduli dengan kesehatan mereka. Sementara itu, Jerinx memanfaatkan citra kontroversialnya untuk tetap relevan di tengah sorotan publik, meskipun sebagian besar perhatiannya datang dalam bentuk dislikes dan kritik tajam.

Pada akhirnya, menjadi seorang influencer bukan hanya tentang menampilkan citra baik dan sempurna. Kita melihat influencer yang berhasil justru dengan menonjolkan kekurangan atau sisi kontroversial mereka. Ini semua tentang bagaimana membangun koneksi emosional dengan audiens. Pilihannya ada di tangan Anda: ingin dikenal karena kebaikan dan inspirasi positif, atau justru karena kehebohan dan kontroversi? Kedua jalan ini sama-sama dapat membawa kesuksesan, tetapi dengan konsekuensi yang berbeda.

Nah, sekarang keputusan ada di tangan Anda. Apakah Anda ingin menjadi influencer yang dikenal karena citra positif yang menginspirasi atau malah menjadi sosok yang menarik perhatian karena kontroversi? Pilihan tersebut sepenuhnya ada di tangan Anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *