Marketing Chaos: Ketika Brand Kehilangan Generasi Z
Di tengah hiruk-pikuk media sosial dan derasnya konten yang diproduksi setiap detik, dunia pemasaran sedang menghadapi tantangan baru: kehilangan Generasi Z. Gen Z, kelompok demografis yang lahir antara 1997–2012, bukan sekadar konsumen biasa. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi, kritis terhadap konten, dan mengutamakan autentisitas. Namun, banyak brand justru terjebak dalam “kekacauan pemasaran” (marketing chaos)—situasi di upaya mereka untuk terhubung dengan Gen Z justru berakhir menjadi kampanye yang dianggap cringe, tidak relevan, atau bahkan mengganggu. Lantas, di mana letak kesalahannya? Mengapa Gen Z, yang seharusnya menjadi target utama, justru semakin menjauh?
Faktanya, 87% marketer mengakui bahwa lanskap pemasaran saat ini lebih kacau dibanding sebelumnya. Platform yang terfragmentasi, tren berumur pendek, dan kelebihan konten membuat strategi pemasaran sulit diarahkan. Di sisi lain, Gen Z—dengan 70% di antaranya mengaku kesulitan menemukan brand yang relevan—tidak lagi terpukau oleh iklan mewah atau kampanye viral. Bagi mereka, sekadar hadir di media sosial tidak cukup. Mereka ingin interaksi yang bermakna, bukan sekadar scroll lalu lupa. Inilah akar masalahnya: brand sibuk mengejar tren, sementara Gen Z justru mencari koneksi.
Gen Z Tidak Terkesan Dengan Brand?
Bayangkan brand menghabiskan miliaran rupiah untuk kampanye kekinian, tapi hasilnya? Gen Z hanya mengangkat bahu dan menyebutnya cringe. Data mengungkapkan, 55% marketer yakin kampanye mereka relevan bagi Gen Z, namun hanya 42% dari Gen Z yang setuju. Bahkan, 68% mengaku tidak ingat kapan terakhir kali mereka “terpesona” oleh pemasaran sebuah brand. Apa yang salah?
Jawabannya mungkin terletak pada cara brand memahami platform media sosial. TikTok, misalnya, memproduksi 34 juta video per hari—sebagian besar dikonsumsi Gen Z sebagai hiburan. Namun, platform seperti Instagram atau Facebook kini lebih mirip “pabrik konten” ketimbang ruang sosial. Gen Z merasa kewalahan: 62% mengaku ada “terlalu banyak media, tapi tidak cukup sosial” di platform favorit mereka. Mereka ingin interaksi nyata, bukan sekadar jadi penonton pasif. Tak heran, 83% Gen Z dengan mudah mengenali ketika brand terlalu memaksakan diri untuk jadi viral—dan mereka tak mau terlibat dalam “kekosongan viral” itu.
Overload Konten: Ketika Marketer dan Konsumen Sama-Sama Tersesat
Kekacauan ini tidak hanya dirasakan Gen Z. Para marketer pun kebingungan: 65% mengakui media sosial kini bagai lautan white noise. Setiap hari, jutaan konten diproduksi, tetapi hanya sedikit yang benar-benar meninggalkan kesan. Hasilnya? 50% marketer kesulitan menciptakan kampanye yang beresonansi dengan Gen Z. Di saat yang sama, Gen Z sendiri merasa terisolasi—70% kesulitan menemukan brand yang sesuai dengan nilai dan minat mereka.
Ini adalah lingkaran setan: brand berlomba membuat konten agar tidak ketinggalan tren, tetapi Gen Z justru makin jenuh. Platform yang seharusnya menjadi ruang sosial, berubah menjadi pusat hiburan satu arah. Padahal, 75% Gen Z menyatakan mereka kini menggunakan media sosial lebih untuk hiburan daripada berinteraksi. Konten bersponsor dan iklan yang membanjiri feed hanya memperparah rasa “terputus” ini.
Komunitas: Kunci Menembus Kebisingan
Di tengah kekacauan, ada satu hal yang Gen Z rindukan: komunitas. Sebanyak 85% Gen Z menegaskan bahwa brand harus menciptakan rasa kebersamaan. Bagi mereka, komunitas bukan sekadar kumpulan follower, melainkan ruang untuk kolaborasi, diskusi, dan koneksi yang tulus. Bahkan, 62% ingin komunitas online mereka juga terhubung dengan interaksi di dunia nyata.
Contoh sukses bisa dilihat dari platform seperti Discord atau forum niche yang sedang naik daun. Sebanyak 79% Gen Z merasa lebih terhubung di ruang privat online karena adanya eksklusivitas dan keintiman. Brand yang mampu membangun ekosistem seperti ini—misalnya, dengan menggabungkan event virtual dan fisik—akan lebih mudah mendapat tempat di hati Gen Z.
Langkah ke Depan: Dari Viral ke Koneksi yang Bermakna
Solusinya jelas: berhenti mengejar tren, mulailah membangun komunitas. Gen Z tidak ingin jadi target pasar, melainkan mitra dalam menciptakan nilai. Daripada fokus pada jumlah likes, brand perlu menciptakan keterlibatan yang berdampak—seperti melibatkan mereka dalam proses kreatif atau menyediakan platform untuk berdialog.
Momen viral mungkin mendatangkan sorotan singkat, tapi komunitaslah yang membangun loyalitas jangka panjang. Di tengah chaos pemasaran, brand yang berhasil menjadi “rumah” bagi Gen Z—tempat mereka merasa didengar, dihargai, dan menjadi bagian dari sesuatu yang besar—akan menjadi pemenang sebenarnya.
Jadi, sudah siap meninggalkan kekacauan dan beralih ke strategi yang lebih manusiawi?