#Novel The Last CEO

posted in
on
by

1. Studio Mati

Raka Santoso berdiri di tengah studio yang sunyi, seperti pohon jati tua yang telah kehilangan daun-daunnya, dahan-dahannya telanjang menghadap angin malam. Usianya lima puluh lima tahun, tapi pundaknya terasa membawa beban seratus musim. Di lantai lima belas gedung yang dulu adalah istana kejayaan Santos Apparel, Jakarta Pusat, udara terasa dingin menusuk, seperti pelukan kenangan yang tak mau melepaskan cengkeramannya. Lampu-lampu LED yang pernah menyala terang kini padam, kamera-kamera yang dulu menari menangkap ribuan cerita kini diam seperti batu, dan layar besar di depannya hanya menampilkan angka nol—nol penonton, nol harapan, nol asa. Di luar, Jakarta tahun 2030 bergetar dengan suara klakson mobil otonom, desingan drone Liora Ventures yang beterbangan seperti kawanan burung besi, dan kemacetan yang tak pernah usai, seperti nadi kota yang tersumbat darah. Tapi di sini, di dalam studio ini, hening adalah tuan rumah, dan Raka adalah tamu yang dipenjara oleh bayang-bayang masa lalunya.

Tangan kanannya memegang mic tua, logamnya dingin seperti embun pagi yang membeku di daun. Mic ini pernah hidup, menjadi saksi saat suara host menggelegar penuh semangat, tawa pelanggan mengalir seperti sungai, dan ribuan klik di marketplace datang bagai hujan yang tak berhenti. Kini, mic itu bisu, seperti pohon yang tak lagi bernyanyi bersama angin. Di lantai bawah, gudang penuh sesak dengan stok pakaian yang tak laku, menumpuk seperti daun kering yang menanti sapu waktu. Raka membuka dompetnya, menatap foto Arya kecil—senyum polos anaknya yang kini jauh di Singapura, tenggelam dalam dunia yang tak ia sentuh. “Apa aku salah bertahan di sini?” bisiknya, suaranya larut dalam dengungan AC yang bocor, seperti tangis yang tersesat di malam kelam.

Tiba-tiba, angin kenangan membawanya ke tahun 2025, saat studio ini adalah jantung yang berdetak kencang, pusat kerajaan fashion yang tak tersaingi. Santos Apparel, yang ia tanam dari benih nol, adalah pohon jati megah dengan akar yang mencengkeram bumi Indonesia. Lima puluh studio live bernyanyi 24 jam sehari di seluruh negeri, masing-masing dipersenjatai kamera canggih, lampu LED yang memukau mata, dan teknologi augmented reality yang membawa pelanggan berjalan di runway Paris dari layar ponsel mereka. Host-host berseri memamerkan koleksi terbaru, mengobrol dengan penonton seperti sahabat lama, menciptakan kehidupan di balik kaca digital. Setiap hari, ribuan pasang mata memenuhi marketplace, jari-jari menari di tombol beli seperti menabuh genderang kemenangan. Akun Santos di platform e-commerce adalah lautan manusia digital, penjualan melonjak tinggi, jutaan transaksi bulanan mengalir seperti air bah, membuat para pesaing hanya bisa menatap dari tepian, penuh iri.

Di mall-mall besar Jakarta, pelanggan berdesakan di booth Santos, mencoba baju virtual lewat layar AR, tersenyum lebar sambil menggenggam kantong kertas bertuliskan nama yang kini hanya gema. Santos bukan sekadar pakaian, ia adalah nyanyian jiwa, lambang keunggulan, pencipta tren yang tak hanya mengikuti zaman, tetapi mendikte arahnya. Dinding kantornya dipenuhi trofi berkilau: “Best Fashion Innovator” dari Asosiasi Fashion Indonesia, “Top Brand Award” tiga tahun berturut-turut, dan “Most Trusted Brand” dari majalah bisnis ternama. Trofi-trofi itu adalah bintang-bintang yang bersinar di langit Santos, bukti dominasi yang tak tergoyahkan.

Tapi keagungan Santos tak berhenti di studio dan layar. Raka, sang pemimpi, merajut model bisnis hybrid online-offline yang mengubah permainan. Gudang dan toko Santos berdiri di 60 kota besar, kebanyakan milik sendiri, menjaga kendali atas setiap jahitan dan senyuman pelanggan. Gudang-gudang itu adalah mesin cerdas dengan teknologi logistik mutakhir, mengirimkan paket ke ujung negeri dalam sekejap, sementara toko-toko fisiknya adalah kuil belanja dengan desain modern yang mencerminkan darah Santos. Ekspansi ini adalah sungai emas, mengalirkan keuntungan yang membuatnya raksasa tak tertandingi—pohon jati yang menaungi hutan industri, cabangnya menjulang, tak tersentuh badai.

Kampanye “Fashion for Future” adalah nyanyian yang menggema, menggaet influencer Gen Z dan teknologi AR yang memikat. Pelanggan bisa merancang baju impian mereka lewat aplikasi Santos, menjahit pengalaman yang hanya milik mereka. Santos bahkan melangkah lebih jauh, mengirim paket dengan drone di kota-kota besar, menabur kesan futuristik yang memukau. Di tangan Raka, Santos adalah burung yang terbang tinggi, tak takut pada langit yang luas.

Namun, di tahun 2030, pohon itu telah roboh. Raka melangkah ke jendela, menatap drone Liora melesat cepat, membawa paket-paket kecil dengan logo yang kini menggantikan Santos. “Di mana mereka bersemayam?” gumamnya, suaranya seperti daun kering yang terlepas dari dahan. Liora Ventures, bayang-bayang misterius, muncul dengan NeuroStyle AI yang melahirkan desain instan, micro-factories yang mencetak baju sesuai pesan, dan drone yang mengantarnya dalam hitungan menit. Tanpa gudang megah, tanpa studio riuh, mereka mencuri hati Gen Z dan Alpha yang haus kecepatan. Raka tak tahu wajah musuhnya, tapi ia merasakan hujan mereka membasahi tanahnya, perlahan, tak terbendung.

Ia duduk di kursi tua yang dulu adalah takhtanya, tangannya mengusap meja kayu penuh goresan waktu. Di layar holografik, garis-garis merah menari, menceritakan penjualan yang runtuh, pelanggan yang berpaling, dan mall yang menutup pintu. “Aku sudah digital, aku sudah mencoba semua. Kenapa aku tetap kalah?” bisiknya, suaranya tenggelam dalam gemuruh Jakarta yang tak pernah diam. Di luar, mobil otonom melaju, drone Liora berdengung seperti lebah, dan kemacetan adalah lukisan kekacauan abadi.

Kenangan 2026 menyelinap di pikirannya. Arya, yang saat itu 18 tahun, berdiri di sudut studio, berkata, “Ayah, kita butuh AI lebih pintar, bukan cuma studio.” Raka membentak, “Kau terlalu hijau untuk mengerti bisnis ini.” Arya pergi ke Singapura, mengejar mimpinya di dunia IT, dan Raka melepasnya, yakin Santos tak akan goyah. Kini, ia tahu itu adalah luka terdalamnya—pohonnya terlalu tinggi, tapi akarnya rapuh menghadapi angin baru.

Matahari terbenam di Jakarta, oranye memudar di balik gedung-gedung tua. Raka menatap langit, pikirannya terbang ke Arya—harapan yang ia lepas. “Apa aku salah tak mendengarnya?” tanyanya pada hening. Studio ini adalah makamnya—lampu mati, kamera bisu, layar kosong. Tapi di sudut jiwanya, ada pijar kecil, seperti matahari yang mungkin terbit, jika ia mau mendengar bisikan yang dulu ia tolak.

Ia melangkah keluar, meninggalkan mic di meja, seperti pohon yang melepas daun terakhirnya—berharap ada yang menanam kembali akarnya.

2. Pohon Runtuh

Raka duduk di sudut kafe tua di Jakarta, dindingnya retak seperti kulit pohon yang telah kehilangan daunnya. Layar holografik di depannya menyala redup, memantulkan wajah-wajah teman-temannya—Arman, Haryo, dan Sita—yang terpencar di berbagai kota, terhubung melalui jaringan virtual yang dingin. Cahaya layar itu seperti kabut tipis yang menyelimuti hutan tua, memperlihatkan bayang-bayang pohon-pohon yang dulu berdiri gagah, kini roboh tersapu angin teknologi yang tak kenal ampun. Di tahun 2030, Jakarta berdengung dengan suara drone dan mobil otonom, tapi di kafe ini, sunyi terasa seperti doa yang terputus di tengah malam.

Arman, yang pernah menanam gedung-gedung pencakar langit seperti pohon jati di tanah subur, kini menunduk, matanya redup seperti daun yang terlepas dari dahan. “Bisnisku mati, Raka,” katanya, suaranya serak seperti angin yang mengikis batu. “Gen Z dan Alpha tak lagi butuh apartemen megah. Mereka pilih co-living yang dikendalikan AI, ruang kecil yang bicara pada mereka, drone yang antar segalanya. Gedung-gedungku kini seperti makam yang terlupakan, berdiri kosong di tengah kota yang tak pernah tidur.” Flashback ke 2026 melintas di benak Raka: Arman tersenyum bangga di atas podium, merayakan proyek barunya, sementara Raka mengangguk yakin bahwa dunia tak akan berubah. Kini, Arman hanyalah bayang-bayang yang pudar, pohon yang kehilangan akarnya.

Haryo, yang dulu menyalakan ratusan dapur dengan aroma masakan yang menggoda, menatap layar dengan pandangan kosong. “Restoranku sepi, Raka,” bisiknya, suaranya pecah seperti kayu yang terbakar perlahan. “Mereka pesan makanan dari ghost kitchen, dikirim drone dalam hitungan menit. Aku coba live cooking, tapi Gen Z bilang itu kuno, tak ada yang peduli pada tangan yang memasak lagi.” Raka teringat malam di tahun 2026, saat ia dan Haryo duduk di salah satu restorannya, tertawa sambil menikmati sup iga yang mengepul. Dapur itu kini dingin, seperti pohon yang daunnya tersapu badai, meninggalkan cabang-cabang telanjang yang tak lagi bernyanyi.

Sita, yang pernah menjadi ratu dunia digital dengan senyuman yang memikat jutaan pengikut, menangis pelan di ujung layar. “Klienku pergi, Raka,” katanya, air matanya jatuh seperti hujan yang membasahi tanah gersang. “Mereka pilih AI-generated content, wajah sempurna yang tak pernah tua, kata-kata yang dirancang algoritma. Aku seperti pohon yang daunnya kering, tak ada lagi yang mau berteduh di bawahku.” Raka mengingat 2027, saat Sita mengundangnya ke pesta peluncuran kampanye besar, penuh lampu sorot dan tepuk tangan. Kini, sorot itu padam, dan Sita hanyalah bayang-bayang yang mencoba bertahan di tengah angin yang tak ia pahami.

Raka terdiam, jantungnya bergetar seperti pohon tua yang tahu badai telah merenggut segalanya. Layar holografik di tangannya menunjukkan grafik Santos Apparel yang merah membara, penjualan yang anjlok seperti daun-daun yang jatuh di musim kemarau. Bisikan teman-temannya menggema di telinganya, seperti angin yang membawa pergi sisa-sisa harapan. “Apa aku salah tak mendengar Arya?” gumamnya pelan, suaranya tenggelam dalam deru Jakarta yang tak pernah diam. Ia teringat 2026, saat Arya—anaknya yang kini jauh di Singapura—berkata, “Ayah, dunia berubah. Kita harus pakai AI, cepat, atau kita tenggelam.” Raka menolak, marah, yakin bahwa Santos akan abadi dengan cara lamanya. Kini, penyesalan itu seperti akar yang mencengkeram dadanya, rapuh namun menyakitkan.

Mereka semua pernah berdiri di puncak, lima tahun lalu, di kafe yang sama. Arman merencanakan gedung baru, Haryo membuka cabang ke-100, Sita menandatangani kontrak jutaan dolar, dan Raka memamerkan studio live Santos yang ramai penonton. Mereka tertawa, gelas-gelas berdenting, yakin bahwa pohon-pohon mereka akan terus menjulang, tak tersentuh badai. Tapi di tahun 2030, badai itu datang, membawa angin baru bernama Liora Ventures—musuh yang tak mereka kenal, yang kini menyapu pasar dengan NeuroStyle AI, micro-factories, dan drone cepat. Raka dan teman-temannya hanyalah pohon-pohon yang roboh, ditinggalkan di hutan yang tak lagi mengenal mereka.

“ Kita salah, Raka,” kata Arman, suaranya seperti daun yang jatuh perlahan. “Kita terlalu yakin pohon kita takkan tumbang. Kita tak lihat angin baru yang datang.” Haryo mengangguk, “Mungkin kita terlalu tua untuk dunia ini. Mungkin kita harus membiarkan tunas baru tumbuh.” Sita menambahkan, “Tapi aku tak tahu bagaimana caranya melepaskan, Raka. Aku tak tahu bagaimana hidup tanpa bayang-bayang pohonku.”

Raka menatap wajah mereka satu per satu, seperti melihat cermin yang memantulkan lukanya sendiri. “Kita semua salah,” katanya, suaranya pelan namun berat, seperti pohon yang tahu akhirnya dekat. “Kita pikir hutan ini milik kita selamanya, tapi anak-anak kita—Gen Z, Alpha, bahkan Arya—mereka yang kini menanam pohon baru.” Di dalam hatinya, ada getar kecil, seperti akar yang masih mencari tanah subur. “Mungkin masih ada cara,” bisiknya pada diri sendiri, “mungkin Santos masih bisa hidup.” Tapi suara itu lemah, tenggelam dalam gemuruh penyesalan yang kini mengisi dadanya.

Layar holografik padam, meninggalkan Raka sendirian di kafe tua itu. Di luar, Jakarta terus berdengung—drone Liora Ventures melayang di langit, lampu-lampu kota berkelip seperti mata yang tak pernah lelah menatap masa depan. Raka berdiri, melangkah keluar, jaketnya terseret angin malam. Ia seperti bayang-bayang yang mencari tempat berteduh, di tengah hutan teknologi yang tak lagi ia kenali. Di kejauhan, ia mendengar bisikan halus masa lalu—suara Arya yang pernah ia abaikan—dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada Tuhan, “Apa yang harus kulakukan sekarang?”

3. Bayang-Bayang Musuh Tak Dikenal

Raka duduk di penthouse-nya yang sepi, dikelilingi jendela kaca besar yang memamerkan gemerlap Jakarta 2030. Cahaya kota menyelinap masuk, menciptakan ilusi lautan lampu yang tak pernah padam. Di atas meja kayu tua di depannya, layar holografik berkedip pelan, menandakan ada pesan yang belum dibuka. Di luar, Jakarta berdengung dengan kehidupan futuristik—drone Liora Ventures melayang di angkasa, mobil otonom meluncur tanpa suara, dan iklan holografik memenuhi udara, memuji kejayaan Liora. Raka menatap layar itu dengan tatapan lelah, tahu bahwa pesan yang menantinya adalah sesuatu yang tak bisa ia hindari lagi.

Dengan gerakan lambat, ia mengusap dahi, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka email yang sudah ia tunda sejak sore. Judulnya singkat dan dingin: “Penawaran Pembelian Santos Fashion dari Liora Ventures.” Jantungnya berdegup kencang, tapi di lubuk hatinya, ia tahu malam ini adalah momen yang pasti akan datang—saat di mana perusahaan yang ia bangun dengan susah payah akhirnya menjadi incaran Liora.

Raka bukan orang asing dengan sepak terjang Liora Ventures. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan itu telah berkembang pesat, menguasai industri fashion dengan teknologi canggih seperti NeuroStyle AI dan micro-factories. Namun, yang lebih menakutkan bagi Raka adalah pola ekspansi mereka: Liora tak hanya bersaing, tetapi juga membeli perusahaan-perusahaan fashion ternama di Indonesia yang dulunya besar. Banyak dari perusahaan itu adalah milik teman-temannya, yang kini telah menyerah pada tekanan zaman dan dominasi Liora.

Ia teringat Arman, sahabatnya yang pernah memiliki bisnis properti dan fashion mewah. Di 2027, Arman menjual saham mayoritas perusahaannya ke Liora setelah utang menumpuk dan klien menghilang. “Mereka datang dengan tawaran yang tak bisa kutolak, Raka,” katanya saat itu, suaranya penuh penyesalan. Lalu ada Sita, desainer berbakat yang kehilangan pijakan di pasar, kini menjadi bagian dari kampanye pemasaran Liora. Haryo, yang pernah punya brand streetwear terkenal, juga tak luput—perusahaannya diakuisisi, dan ia kini mengelola lini produksi kecil di bawah payung Liora. Satu per satu, teman-temannya jatuh, dan Raka tahu bahwa gilirannya hanya masalah waktu.

Ia akhirnya membuka email itu. Huruf-huruf dingin muncul di layar holografik:
Kepada Bapak Raka Santoso,
Setelah mengevaluasi kondisi Santos Fashion dan peluang di pasar saat ini, Liora Ventures mengajukan penawaran untuk membeli perusahaan Anda secara penuh. Dengan teknologi dan jaringan kami, kami yakin dapat membawa Santos Fashion ke era baru. Tawaran ini mencerminkan nilai wajar berdasarkan kondisi keuangan Santos saat ini. Kami harap Anda mempertimbangkan proposal ini dengan serius.
Hormat kami,
Rian Arifianto
CEO, Liora Ventures

Raka menutup mata sejenak, tangannya gemetar. Tawaran ini bukan kejutan baginya. Ia telah mendengar bisik-bisik di kalangan pelaku industri, melihat teman-temannya lenyap dari peta persaingan satu per satu. Liora, dengan kekuatannya yang tak terbendung, telah merangkul perusahaan-perusahaan yang dulu berdiri tegak, menjadikannya bagian dari kerajaan mereka. Santos Fashion, yang ia rintis dengan penuh dedikasi, kini berada di ujung tanduk—menjadi incaran berikutnya dalam daftar panjang Liora.

Di luar, sebuah drone Liora melintas di dekat jendelanya, lampunya berkedip seperti mata yang mengintai. Raka berdiri dan berjalan mendekati kaca, menatap kota yang tak pernah istirahat. “Aku tahu ini akan datang,” gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk Jakarta. Tawaran itu terasa seperti pisau bermata dua: menerimanya berarti menyelamatkan Santos dari kehancuran, tapi juga menghapus warisannya. Menolaknya? Mungkin hanya akan mempercepat akhir yang tak terelakkan.

Malam semakin larut, dan Raka duduk kembali, menatap layar holografik yang masih menyala. Ia tahu, keputusan ini akan menentukan nasib Santos Fashion—dan nasibnya sendiri. Liora telah datang, dan kali ini, giliran perusahaannya yang menjadi target.

4. Disrupsi Senyap

Raka Santoso duduk di ambang jendela penthouse-nya yang menjulang tinggi, matanya menyelami lautan cahaya Jakarta yang tak pernah redup. Lampu-lampu kota berkilau bagai kunang-kunang yang tersesat di antara menara-menara beton, menyisakan ilusi kehidupan yang abadi. Di tangannya, secangkir kopi tergeletak dingin, uapnya telah lama sirna, mirip harapan yang perlahan terkikis waktu. Di sudut meja kerjanya, layar holografik berkedip lembut, mengisyaratkan pesan baru yang belum disentuhnya. Di kejauhan, drone-drone Liora Ventures melayang anggun di langit malam, membawa paket-paket kecil yang kini menggantikan segala yang pernah ia rintis dengan darah dan keringat.

Dengan langkah pelan, ia bangkit dan mendekati meja. Jarinya menyentuh layar, membuka pesan itu. Sebuah email dari Liora Ventures terpampang di hadapannya, singkat dan tajam seperti pisau: “Penawaran Pembelian Santos Fashion.” Raka memejamkan mata sejenak, jantungnya berdetak kencang, seolah pohon tua dalam dirinya merasakan topan yang mendekat. Malam ini, ia tahu, adalah titik tanpa pulang—saat di mana mahkota pohon yang pernah menaunginya menjadi kayu bakar bagi yang lain.

Pikiran Raka melayang ke tahun 2025, masa ketika Santos Fashion berdiri gagah sebagai raksasa yang tak tertandingi. Pabrik-pabrik besar berderet di pinggiran Jakarta, mesin-mesin raksasa mengaum tanpa henti, dan gudang-gudang penuh sesak dengan pakaian yang siap menggenggam pasar. Ribuan karyawan bergerak seperti pasukan semut, dan Raka adalah rajanya—berdiri di puncak dengan senyum lebar, diterangi sorot lampu dunia. Ia bukan sekadar pengusaha; ia adalah bintang. Wajahnya menghiasi majalah, suaranya menggema di seminar, bahkan layar Times Square pernah menampilkan pesonanya. Ketika ia berbicara, pasar mendengar. Ketika ia melangkah, tren mengejar. Santos Fashion bukan hanya merek—itulah lagu yang dinyanyikan jutaan hati.

Namun kini, di tahun 2030, pohon itu telah layu. Liora Ventures datang bagai angin siluman, merenggut segalanya dengan cepat dan senyap. Mereka tak memiliki pabrik megah, gudang mahal, atau ribuan pekerja. Liora adalah bayangan yang menari di balik layar, mengandalkan jaringan mitra yang tersebar di setiap sudut kota. Mitra-mitra itu membeli mesin fabrikasi compact—pabrik mini yang mampu menciptakan pakaian dalam hitungan menit, dikendalikan oleh kecerdasan buatan mutakhir. Mesin-mesin kecil itu bersemayam di ruko-ruko sederhana atau garasi rumah, tak lebih besar dari lemari, namun menghasilkan karya dengan presisi sempurna. Dua orang operator sudah cukup; sisanya diserahkan pada robot-robot yang tak pernah mengenal lelah.

Raka kembali menatap layar holografik, membaca laporan dari asistennya, Mira: “Liora tidak bergantung pada infrastruktur fisik besar. Mereka memanfaatkan teknologi rantai pasok berbasis cloud dan pengantaran drone, memotong biaya logistik konvensional.” Ia menghela napas panjang, merasakan betapa kuno dirinya di era ini. Dulu, Santos Fashion harus menopang ribuan karyawan, menyewa gudang-gudang mahal, dan bergulat dengan kemacetan Jakarta yang menyabotase pengiriman. Liora, sebaliknya, bergerak lincah seperti angin—tanpa beban, tanpa suara, tanpa jejak.

Yang lebih mengusik Raka adalah misteri di balik Liora. Di masa kejayaannya, pemilik perusahaan adalah selebriti—berpidato di panggung megah, wajah mereka menghias sampul majalah, kisah mereka menginspirasi dunia. Raka pernah menjadi salah satunya. Tapi Liora tak punya wajah. Tak ada CEO karismatik yang tersenyum di media, tak ada wawancara penuh hikmah di seminar bisnis. Di situs web mereka, alamat kantor hanya mencantumkan sebuah ruangan kecil di gedung perkantoran mewah Jakarta—kotak sepatu yang tak mungkin menjadi jantung perusahaan raksasa. Wartawan pernah menyambangi tempat itu, namun hanya menemukan pintu terkunci dan meja kosong. Liora adalah pohon dengan akar tersembunyi, mencengkeram erat namun tak terlihat.

Raka meraih ponselnya, membaca analisis panjang dari seorang pakar bisnis. “Liora memanfaatkan AI prediktif untuk meramal tren fashion dengan akurasi 95%,” tulis artikel itu. “Rantai pasok berbasis cloud memungkinkan produksi sesuai permintaan, mengurangi limbah dan biaya.” Semua terdengar logis, namun ada yang hilang: sentuhan manusia. Tak ada kisah perjuangan, tak ada cerita kegagalan yang membentuk jiwa, tak ada wajah di balik angka-angka itu. Liora adalah mesin sempurna—dingin, tak berjiwa, dan tak membutuhkan pengakuan.

Ia teringat masa ketika bisnis masih tentang hati. Di tahun 2025, Raka mengenal setiap desainer di studionya, menyapa pelanggan di toko, dan menulis surat terima kasih untuk karyawan setianya. Santos Fashion adalah keluarga, dan ia adalah patriark yang penuh kebanggaan. Kini, Liora adalah entitas tanpa nama—hanya algoritma yang berbisik, sistem yang berdengung, dan keberhasilan yang tak meminta sorak sorai. Raka merasa kecil, seperti pohon tua yang tersisih oleh tunas-tunas baru tanpa identitas.

Di luar, sebuah drone Liora melintas, mengantarkan paket pada pelanggan yang tak peduli siapa pengirimnya. Raka memejamkan mata, merasakan ironi yang menusuk. Dulu, ia adalah pusat perhatian; kini, ia hanya penonton di panggung yang telah berpindah tangan. Liora adalah bayangan yang bergerak cepat, meninggalkan kisah-kisah lama seperti reruntuhan yang diterpa angin. Untuk pertama kalinya, Raka merasa dunia ini bukan lagi milik manusia—melainkan milik sesuatu yang lebih besar, lebih dingin, dan tak kasat mata.

Ia melangkah kembali ke jendela, menatap kota yang kini dikuasai drone-drone Liora. Salah satunya melayang dekat, logo Liora di sisinya berkilau samar. “Mereka ada di mana-mana,” gumamnya, suaranya hilang dalam gemuruh kota. “Tapi tak ada yang tahu siapa mereka.” Itulah yang menggerogoti pikirannya. Di masa lalu, pemilik perusahaan adalah ikon—bercerita di panggung, wajah mereka menjadi simbol, kisah mereka membakar semangat. Raka pernah menjadi salah satunya. Tapi Liora adalah teka-teki tanpa jawaban, tak membutuhkan sorot lampu atau tepuk tangan.

Dengan gerakan pelan, ia menutup layar holografik, membiarkan kegelapan menyelimuti ruangan. Raka duduk di kursinya, mendengar detak jantungnya yang berdentum lembut seperti gema di kejauhan. “Aku akan menemukanmu,” bisiknya pada bayangan tak terlihat itu, tekadnya menyala seperti bara kecil di tengah badai. Namun di lubuk hatinya, ia tahu ini baru permulaan—dan Liora Ventures bukan lawan yang akan menyerah dengan mudah.

Malam terus merangkak, dan di luar, drone-drone Liora masih menari di angkasa, mengantarkan mimpi-mimpi baru bagi kota yang tak pernah tidur. Raka memejamkan mata, membiarkan keheningan membungkusnya seperti kain usang. Besok, ia akan melangkah lebih jauh, mencari celah di antara bayang-bayang itu.

5. Ambang Hancur

Studio live Santos yang dulu berdengung dengan kehidupan kini sunyi seperti makam yang ditinggalkan. Lampu-lampu LED yang pernah bersinar terang kini padam, meninggalkan bayang-bayang yang menari pelan di dinding-dinding kosong. Kamera-kamera yang dulu menangkap setiap gerakan host dengan penuh semangat kini diam, lensa-lensa mereka tertutup debu, seperti mata yang tak lagi bisa melihat. Layar besar di depan ruangan menunjukkan angka yang tak bergerak: nol penonton, nol interaksi, nol harapan. Raka berdiri di tengah ruangan, tangannya meraba meja kontrol yang dingin, jari-jarinya menyentuh tombol-tombol yang tak lagi berguna. “Ini adalah jantung Santos,” gumamnya, suaranya serak seperti daun kering yang terinjak. “Dan kini, jantung ini telah berhenti berdetak.”

Di luar, Jakarta 2030 terus berdenyut dengan ritme yang tak pernah ia pahami. Mobil otonom meluncur di jalanan, drone Liora Ventures beterbangan seperti burung besi yang tak kenal lelah, dan kemacetan kota seperti darah yang tersumbat di pembuluh. Tapi di dalam studio ini, waktu seolah berhenti—seperti pohon yang kehilangan daunnya, menunggu badai yang akan merobohkannya. Raka melangkah ke gudang di lantai bawah, pintu besinya berderit pelan saat ia membukanya. Di dalam, tumpukan pakaian yang tak laku menumpuk tinggi, kain-kain itu seperti daun-daun yang gugur, menunggu untuk disapu oleh angin yang tak kunjung datang. “Aku pikir ini adalah masa depan,” bisiknya, matanya memandang stok yang kini hanya beban. “Tapi ternyata, masa depan telah meninggalkan kita.”

Raka kembali ke studio, mencoba menghidupkan kembali semangat yang telah padam. Ia menyalakan layar holografik, mencoba AR live commerce yang pernah ia anggap sebagai inovasi terakhirnya. Wajahnya muncul di layar, tersenyum kaku, mencoba memamerkan koleksi terbaru Santos. Tapi tak ada yang menonton, tak ada yang peduli. Di marketplace, Liora Ventures selalu menang—dengan AI prediktif mereka yang bisa meramal tren lebih cepat, micro-factories yang mencetak baju dalam hitungan menit, dan drone yang mengantar pesanan dalam sekejap. Santos, dengan studio live dan gudang penuh stok, terasa seperti relik dari masa lalu, seperti pohon tua yang tak lagi bisa bersaing dengan tunas-tunas baru.

Dengan langkah berat, Raka duduk di kursi host yang dulu ramai. Ia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Arya di Singapura via hologram. Layar berkedip, menunjukkan wajah Arya yang sibuk, matanya tertuju pada sesuatu di luar pandangan. “Arya, ini Ayah,” kata Raka, suaranya penuh harap yang rapuh. “Santos… Santos hampir habis.” Arya menoleh sebentar, wajahnya penuh ketegangan. “Ayah, aku sedang rapat. Aku akan hubungi nanti,” jawabnya singkat, dan layar pun padam. Raka menatap layar kosong itu, merasakan hati yang bergetar seperti daun yang tersapu angin dingin. “Dia terlalu sibuk,” gumamnya, “sibuk membangun dunianya sendiri.”

Flashback ke tahun 2026 melintas di benaknya. Arya, yang saat itu berusia 18 tahun, berdiri di studio ini, matanya penuh semangat. “Ayah, kita harus pakai AI canggih, bukan cuma studio live,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Raka marah, “Kau terlalu muda untuk mengerti bisnis ini. Santos sudah besar dengan cara ini.” Arya menunduk, dan tak lama kemudian, ia pamit ke Singapura, mengejar mimpinya di dunia IT. Raka membiarkannya pergi, yakin bahwa Santos tak akan goyah. Kini, penyesalan itu seperti badai yang mengguncang pohonnya, merobek daun-daun yang tersisa.

Raka bangkit, berjalan ke jendela studio. Di luar, drone Liora melintas, membawa paket-paket kecil dengan logo yang kini menggantikan Santos. “Mereka ada di mana-mana,” bisiknya, suaranya tenggelam dalam gemuruh kota. Ia teringat Mira, yang kini duduk di sudut ruangan, sibuk dengan tabletnya. “Mira, apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya, suaranya lemah seperti pohon yang hampir roboh. Mira mengangkat wajah, matanya redup. “Pak, kita sudah coba segalanya. AR live commerce, promosi besar, tapi… Liora terlalu cepat.” Raka mengangguk pelan, tahu bahwa usahanya sia-sia.

Ia kembali ke meja kontrol, menatap layar yang kini gelap. “Aku pikir studio ini adalah benteng kita,” gumamnya, “tapi ternyata, benteng ini hanyalah istana pasir.” Di dalam hatinya, ada getar kecil—seperti akar yang masih mencoba mencengkeram tanah. “Mungkin masih ada cara,” bisiknya pada dirinya sendiri, tapi suara itu lemah, tenggelam dalam gemuruh penyesalan. Raka menutup mata, membiarkan hening studio menyelimutinya seperti kain tua yang usang. Besok, ia akan mencoba lagi, tapi malam ini, ia hanya bisa merasakan badai yang semakin dekat.

Jakarta di luar jendela terus bergerak, tak peduli pada pohon tua yang sedang meratap di dalam studio ini. Lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang tak pernah ia raih, dan suara klakson mobil otonom seperti nyanyian yang asing di telinganya. Raka membuka mata, menatap refleksi wajahnya di layar mati. Wajah itu penuh keriput, penuh luka, seperti kulit pohon yang sudah terlalu lama diterpa angin. “Aku sudah tua,” bisiknya, “dan dunia ini terlalu cepat untukku.” Tapi di balik bisikan itu, ada sesuatu yang masih hidup—seperti tunas kecil yang tersembunyi di bawah tanah, menunggu waktu untuk tumbuh.

Raka melangkah ke sudut ruangan, mengambil mic tua yang pernah menjadi saksi kejayaan Santos. Ia memegangnya erat, seperti memegang akar terakhir dari pohonnya. “Kita pernah besar,” gumamnya, suaranya penuh nostalgia. “Kita pernah menjadi pohon yang menaungi semua orang.” Tapi kini, pohon itu telah kehilangan daunnya, hanya menyisakan ranting-ranting kering yang rapuh. Ia meletakkan mic itu kembali, merasa bobotnya seperti beban sejarah yang tak lagi relevan.

Flashback ke tahun 2028 muncul di benaknya. Saat itu, Mira datang ke ruangan ini, membawa laporan tentang Liora Ventures yang mulai menguasai pasar. “Pak, kita harus pakai AI canggih seperti mereka,” katanya, suaranya penuh urgensi. Tapi Raka menggeleng, “Santos tidak perlu itu. Kita punya studio live, kita punya cara kita sendiri.” Mira menunduk, dan Raka melanjutkan kerjanya, yakin bahwa pohonnya masih kuat. Kini, ia menyadari bahwa keangkuhannya adalah badai yang merobohkan pohon itu sendiri.

Raka kembali duduk di kursi host, menatap layar holografik yang kini kosong. Ia mencoba membayangkan wajah-wajah penonton yang dulu memenuhi layar ini, suara-suara mereka yang riuh, komentar-komentar mereka yang penuh semangat. Tapi yang ia lihat hanya kegelapan, seperti malam yang tak berujung. “Mungkin aku terlalu lama bertahan di masa lalu,” bisiknya, suaranya seperti daun yang jatuh perlahan. “Mungkin aku terlalu lama menolak angin baru yang datang.”

Di sudut ruangan, Mira masih duduk, matanya terpaku pada tablet. “Mira,” panggil Raka, suaranya pelan seperti angin malam. “Apa aku salah tidak mendengar Arya?” Mira mengangkat wajah, matanya penuh simpati. “Pak, dunia sudah berubah. Kita coba, tapi… mungkin memang waktunya berhenti.” Raka mengangguk, merasakan hati yang bergetar seperti pohon yang tahu akhirnya dekat. Tapi di balik getar itu, ada sesuatu yang masih hidup—seperti akar yang mencoba bertahan, mencari celah untuk tumbuh kembali.

Raka bangkit, berjalan ke jendela sekali lagi. Di luar, drone Liora Ventures terus melintas, logo mereka berkelip seperti bintang yang tak pernah padam. “Arya,” bisiknya, suaranya penuh kerinduan. “Apa kau tahu betapa aku menyesal?” Tapi suara itu hanya bergema di dalam studio kosong, seperti bisikan pohon yang tak lagi didengar. Raka menutup mata, membiarkan hening malam menyelimutinya. Besok, ia akan mencoba lagi, tapi malam ini, ia hanya bisa merasakan badai yang semakin dekat, dan pohon tua yang semakin rapuh.

6. Nadir

Malam itu, Jakarta terbungkus dalam selimut dingin yang tak biasa, seolah angin malam ikut berbisik tentang luka yang tak terucap. Raka duduk di tepi ranjang, tubuhnya membungkuk seakan menanggung beban dunia. Di tangannya, sebuah bingkai foto digital memproyeksikan gambar Arya, anak tunggalnya, yang tersenyum di bawah pohon oak besar di kampus Stanford University. Cahaya lembut dari proyeksi itu menari di wajahnya, menyisakan bayangan yang memanjang di lantai kayu gelap. Di luar, lampu-lampu kota berkedip seperti bintang buatan, tetapi di dalam ruangan ini, segalanya terasa mati—terperangkap dalam keheningan yang menusuk hingga ke tulang.

“Apa aku pernah benar-benar mengenalmu, Arya?” gumam Raka, suaranya serak, nyaris hilang ditelan udara penthouse yang dingin. Matanya terpaku pada senyum Arya di foto itu, senyum yang kini terasa asing. Pikirannya melayang ke tahun 2026, malam ketika Arya berdiri di ruang tamu rumah mereka, matanya berbinar penuh harapan. “Ayah, kita harus pakai AI untuk Santos Fashion. Ini masa depan!” Kata-kata itu keluar dengan semangat yang membara, tapi Raka, yang saat itu duduk di singgasana kesuksesannya, hanya menatapnya dengan dingin. “Kau belum paham dunia ini, Arya. Kita besar karena cara kita, bukan karena mesin.” Nada Raka tajam, tak meninggalkan ruang untuk diskusi. Arya menunduk, pundaknya merosot, dan tak lama kemudian, ia pergi—ke Singapura, ke Amerika, ke mana saja yang jauh dari bayang-bayang ayahnya.

Setelah Maya pergi, segalanya berubah. Maya, ibu Arya, adalah angin sepoi yang menjaga api keluarga mereka tetap hangat. Ketika kanker merenggutnya saat Arya masih di SMA, Raka tenggelam dalam lautan pekerjaan, membangun Santos Fashion menjadi raksasa dengan tangan besi. Arya? Ia memilih menutup diri, mencari pelarian dalam buku dan mimpi-mimpi yang tak pernah ia ceritakan lagi pada ayahnya. Jarak itu bukan hanya ribuan kilometer antara Jakarta dan California, tetapi juga lautan emosi yang tak terucap. Panggilan telepon yang dulu penuh tawa kini menjadi singkat, kaku, dan dingin. “Ayah sibuk,” kata Arya dalam panggilan terakhir mereka setahun lalu, nadanya datar seperti permukaan danau yang tak bergerak. Raka tak menjawab, tak tahu harus berkata apa, dan sambungan pun terputus, meninggalkan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya.

Raka meletakkan bingkai itu di meja samping ranjang, jari-jarinya gemetar seolah tak sanggup menahan beban kenangan. Ia bangkit, berjalan pelan menuju jendela besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit. Di luar, Jakarta terhampar seperti lukisan yang tak pernah selesai—terang, ramai, namun kosong bagi matanya. “Mungkin aku bukan ayah yang kau inginkan,” bisiknya, napasnya membentuk embun kecil di kaca dingin. Di dalam dadanya, ada dorongan kecil untuk mengangkat telepon, untuk mendengar suara Arya, untuk mengatakan bahwa ia menyesal—tapi kata-kata itu terasa seperti pasir yang lolos dari genggamannya. Arya kini tenggelam dalam dunianya sendiri di Stanford, mengejar impian tentang kecerdasan buatan dan inovasi bisnis, dunia yang begitu jauh dari visi Raka.

Malam itu, Raka tak tidur. Ia kembali ke ranjang, duduk dengan pundak terkulai, menatap proyeksi wajah Arya yang masih tersenyum di bingkai itu. Hening menyelimutinya seperti kabut tebal, dan di dalam hatinya, ia bertanya: apakah masih ada jalan kembali? Besok mungkin membawa harapan, atau mungkin hanya penyesalan yang lebih dalam. Untuk saat ini, ia hanya bisa merasakan batu besar bernama rindu yang mengganjal di dadanya, tak bergerak, tak hilang.

7. Panggilan Hening

Hari-hari di Santos Fashion berlalu seperti angin yang membelai dedaunan, lembut di permukaan, tetapi mengguncang akar di kedalaman. Arya, anak muda dengan semangat membara, telah hampir setahun mengabdi sebagai analis dan pengembang bisnis di perusahaan ayahnya. Ia datang membawa ilmu baru, seperti pelancong yang pulang dari negeri jauh dengan peti penuh harta: Artificial Intelligence, prediksi tren, optimalisasi rantai pasok. Di matanya, masa depan Santos adalah kanvas luas yang menanti sapuan warna modern. Namun bagi Raka, ayahnya, Santos adalah pohon tua yang telah bertahan badai selama 35 tahun—tak perlu cabang baru, cukup akar yang dalam.

Setiap rapat menjadi medan perang tanpa pedang, hanya kata-kata yang tajam dan tatapan yang saling mengiris. “Ayah, dunia berubah. AI bisa membaca pola yang tak kita lihat, membuat keputusan yang lebih cerdas,” kata Arya suatu hari, suaranya penuh keyakinan, matanya berbinar seperti bintang di langit gelap. Raka menatapnya, alisnya berkerut, tangannya mengepal di atas meja kayu mahoni. “Kau terlalu muda, Arya. Kau belum tahu betapa rapuhnya bisnis ini. Cara lama kita sudah cukup—studio live, desainer kita, itu yang membuat Santos berdiri.” Nada Raka tegas, seperti angin yang menolak daun baru bertunas.

Pertarungan ide dan ego itu tumbuh bagai bayang-bayang di bawah matahari sore, semakin panjang, semakin kelam. Arya ingin Santos melangkah ke masa depan, sementara Raka bersikeras menjaga pijakan di masa lalu. Di antara mereka, tim dan karyawan terperangkap, seperti burung yang bingung memilih sarang. Ada yang terpikat oleh visi Arya—data yang bicara, mesin yang berpikir—dan ada yang setia pada Raka, percaya intuisi manusia adalah nyawa perusahaan. “Kita seperti kapal dengan dua nahkoda,” keluh seorang karyawan senior di sela kopi pagi, suaranya lirih namun penuh makna. Dua matahari kembar bersinar di puncak pimpinan, membakar siapa saja yang terlalu dekat.

Konflik itu mencapai puncaknya di penghujung tahun 2025. Rapat-rapat berakhir dengan hening yang mencekam, produktivitas merosot, dan semangat tim layu seperti bunga yang kekurangan air. Hingga suatu sore, Arya melangkah ke ruangan Raka, langkahnya mantap, wajahnya penuh tekad. “Ayah, aku mundur dari Santos,” katanya, suaranya tenang namun mengguncang seperti petir di kejauhan. Raka terpaku, matanya melebar, napasnya tersendat. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya bergetar seperti daun yang hampir jatuh. “Aku akan ke Singapura, membesarkan bisnis IT-ku sendiri. Aku sudah memulainya sejak kuliah, dan ini jalanku.” Arya berbalik, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, meninggalkan Raka dengan keheningan yang menusuk.

Malam itu, Raka berdiri di balkon kantor, menatap Jakarta yang berkilauan di bawahnya. Lampu-lampu kota seperti bintang yang tersesat, tetapi tak satu pun mampu menerangi lubang di hatinya. Ia memegang segelas kopi yang telah dingin, merasakan hati yang hancur seperti pohon yang kehilangan cabang terkuatnya. “Aku seharusnya mendengarmu,” bisiknya pada angin, suaranya penuh penyesalan. Di kejauhan, kota terus bernapas, tak peduli pada luka yang ia peluk erat.

Arya pergi, membawa mimpinya ke Singapura, menanam benih yang telah ia pupuk sejak masa kuliah. Santos Fashion tetap berdiri, tetapi bagi Raka, ia seperti pohon tua yang daunnya gugur satu per satu, menanti musim dingin yang tak kunjung usai.

8. Surga Sunyi

Raka menerima undangan itu dengan hati yang bergoyang, antara penasaran dan gelisah. Selembar kertas tipis bertuliskan alamat vila mewah di Bali terleletak di tangannya, namun bobotnya terasa lebih dari sekadar tinta dan serat—ada misteri yang menyelimuti. Ia pun tiba di vila tersebut, berdiri di tepi tebing yang memandang laut Bali, biru tak bertepi. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam dan bisikan harapan yang sayup. Namun, di pintu masuk, bukan Rian Arifianto yang menyambutnya, melainkan Sarah—asisten pribadi Rian. Wanita muda itu tersenyum hangat, matanya berkilau bagai mentari yang baru terjaga dari tidur panjang.

“Selamat datang, Pak Raka,” sapa Sarah, suaranya lembut namun penuh ketegasan yang halus. “Beliau menunggu di Sumba. Kita akan ke sana dengan drone.”

Raka mengerutkan kening, tak menyangka perjalanan ini akan membawanya lebih jauh dari Bali. Sarah mengajaknya ke halaman belakang, tempat sebuah drone mewah berdiri megah, pintunya terbuka seolah mengundang. “Autopilot,” ujar Sarah singkat, “membawa kita ke Sumba dalam 30 menit.” Raka melangkah masuk, duduk di kursi empuk yang terasa asing namun membungkus tubuhnya dengan nyaman. Drone itu lalu melayang, meninggalkan hiruk-pikuk Bali, menuju pulau damai di kejauhan—Sumba, dengan keheningan dan keindahan yang memeluk jiwa.

Sepanjang perjalanan, Raka mencuri pandang ke arah Sarah, rasa ingin tahunya berkobar. “Siapa sebenarnya Beliau?” tanyanya, nada suaranya penuh tanda tanya. Sarah tersenyum tipis, menjawab dengan ketenangan yang terukur, “Beliau adalah pebisnis muda asli Surabaya, Pak. Tapi Beliau lebih suka menari bersama angin dan laut ketimbang terpenjara di kilau kota. Makanya Beliau pindah ke Sumba bersama keluarganya, mengelola bisnis IT yang bergerak di bidang fashion.” Raka mengangguk, mencoba merangkai bayangan tentang sosok itu. “Beliau mengendalikan semuanya dari sana?” tanyanya lagi, penasaran. “Ya,” sahut Sarah, “dengan internet satelit, Beliau terhubung ke karyawan dan robot-robot AI di seluruh dunia.”

Tiga puluh menit berlalu bagai sekejap mata. Drone mendarat lembut di halaman vila luas di Sumba, tepi pantai yang ombaknya bernyanyi pelan. Rian Arifianto menyambut Raka dengan senyum yang tulus. Pria berusia 26 tahun itu tampak muda, namun matanya menyimpan kedalaman seperti lautan di bawah cahaya bulan. “Selamat datang, Pak Raka,” sapanya, penuh wibawa namun tetap ramah. Saat menatap Rian, Raka tiba-tiba teringat pada Arya—anaknya yang juga bergelut di dunia AI. Pikirannya terbuka lebar, seperti angin Sumba yang membawa kesadaran baru: inilah wajah dunia bisnis masa kini.

Rian mengajak Raka menjelajahi vila luasnya. Di dalam kantor berteknologi tinggi, layar holografik memenuhi ruangan, menampilkan data dan grafik yang melayang di udara. Robot asisten bergerak senyap, hampir tak terdengar, sementara suara lembut agent AI mengalun dengan instruksi dan laporan. “Di sini saya mengendalikan semuanya,” ujar Rian, jarinya menari di udara, menggerakkan dunia dalam genggamannya. “Tanpa gedung megah di Jakarta, tanpa ribuan karyawan. Hanya teknologi dan visi.” Raka terpaku, terpana sekaligus tersentak. Ini adalah dunia yang pernah Arya ceritakan, dunia yang dulu ia tolak untuk dengar.

Namun, di balik gemerlap teknologi, Rian menyimpan jiwa yang hangat dan humanis. Di luar vila, ia menunjukkan sebuah sekolah megah bertaraf internasional—kebanggaan masyarakat Sumba. Bangunan itu berdiri kokoh, dilengkapi laboratorium sains mutakhir, perpustakaan digital yang luas, dan lapangan olahraga yang terbentang indah. Dalam lima tahun terakhir, Rian telah mendirikan lebih dari tiga sekolah serupa di pulau ini, membawa perubahan nyata bagi pendidikan. “Pendidikan adalah pintu menuju masa depan,” kata Rian, matanya berbinar penuh asa. “Saya ingin mereka bermimpi lebih besar.” Ia juga menyalurkan dana CSR untuk masyarakat setempat, membawa kebaikan kecil yang terasa dalam. Bagi warga Sumba, Rian adalah dermawan yang misterius—mereka tak paham bisnis apa yang ia jalankan, namun merasakan kehadirannya seperti angin sejuk yang tak pernah lelah menyapa.

Raka menatap Rian, dan di dalam dadanya, ada getar halus—seperti embun yang jatuh di ujung daun. Di pulau terpencil ini, di tengah teknologi yang merentang ke masa depan, Raka menemukan sesuatu yang lama hilang: harapan. Mungkin, ini adalah jalan yang pernah Arya tunjukkan, jalan yang kini mulai ia rangkul, meski luka di hatinya masih berdenyut pelan.

9. Badai Liora

Raka duduk di kursi aneh yang memeluk punggungnya, getar halusnya terasa seperti bisikan. Vila tersembunyi ini, jauh dari hiruk pikuk, menyimpan rahasia yang menggelisahkan hatinya. Di depannya, Rian Arifianto berdiri, lelaki muda dengan jas tipis, dikelilingi ruangan yang lebih mirip kapal masa depan. Dinding kaca buram seketika, lalu menyala dengan layar penuh warna dan angka. “Rian,” tanya Raka, suaranya penuh rasa ingin tahu, “Liora cuma startup kecil lima tahun lalu. Santos aku bangun lebih dari tiga puluh lima tahun—bagaimana kau kalahkan aku secepat ini?” Rian tersenyum tipis, melambaikan tangan, dan meja di depannya hidup, memunculkan hologram pakaian yang menari di udara.

“Kecepatan, Pak Raka,” jawab Rian, suaranya lembut bagai angin senja. “AI kami baca tren fashion dalam sekejap—tak perlu riset panjang seperti dulu.” Ia menjentikkan jari, dan lantai menyala, peta dunia muncul di bawah kaki mereka—titik-titik kecil bercahaya tersebar di kota-kota besar dan daerah. “Micro-factories kami ada di mana-mana, Pak. Sebagian milik kami, sebagian milik mitra yang beli paket kemitraan Liora—semua bekerja dua puluh empat jam tanpa manusia, terhubung ke server kami, jangkau konsumen yang butuh pakaian cepat.” Raka terpaku, takjub pada jaringan yang berdenyut seperti nadi, menghidupi badai yang tak ia lihat datang.

Rian melangkah ke jendela, yang tiba-tiba jadi layar besar, menampilkan runway Paris virtual. “AI kami baca komentar pelanggan—dari kami, dari kompetitor—dirangkum dalam detik untuk putuskan langkah berikutnya.” Printer kecil di meja mendengung, mencetak jaket mini seketika, dan Rian menambah, “Kain kami pintar—ubah warna, bentuk, sesuai keinginan, semua lewat aplikasi.” Raka merasa kursinya hangat, sensor di dalamnya membaca degup jantungnya yang kian kencang. Ruangan ini hidup—dinding berbisik, meja bernyanyi—dan ia seperti pohon tua di tengah hutan logam yang tak ia kenal.

“Tapi kuncinya,” kata Rian, nada bangga terdengar, “kami menggunakan engine AI canggih di bidang fashion dengan nama Lila AI.” Raka tersentak, matanya membesar. “Lila?” ulangnya pelan, dan Rian mengangguk, “Ya, Lila AI—mesin yang prediksi tren, baca emosi lewat jam pintar, dan ciptakan desain personal secepat napas.” Raka tersenyum kecil, hati yang tadinya beku kini mencair. Nama itu, Lila, sama seperti mendiang istrinya—gadis Semarang yang dulu menjahit bersamanya. Kebetulan apa ini, atau bisikan halus dari masa lalu?

Rian tak sadar pada riak di wajah Raka, melanjutkan ceritanya. “Kami punya langganan digital—bayar bulanan, pilih dari lemari virtual, kami kirim, lalu ambil kembali untuk daur ulang.” Hologram muncul, menari, menunjukkan orang-orang “mencoba” baju dengan lambaian tangan. “Kampanye kami pakai hologram di jalanan—beli tanpa toko.” Raka menatap Rian, lalu ke vila yang bergetar dengan teknologi—lantai yang hidup, dinding yang bicara. Ia tak lagi bertanya “mengapa”, tapi “bagaimana aku tak tahu ini?”

Ruangan itu bernapas, dinding kaca membukakan pemandangan hijau di luar, kontras dengan kilau dalam. Raka mengangguk pelan, kagum bercampur kecut. “Lila AI,” gumamnya lagi, nama itu bergema seperti lagu lama. Rian menyentuh meja, hologram berganti jadi peta keuntungan—garis menanjak bagai bukit. “Ini soal cepat dan tepat, Pak,” katanya. Raka menatapnya, lalu ke printer kecil yang diam, dan ke langit di luar. Santos, tiga puluh lima tahunnya, lenyap dalam badai ini.

Badai bernama Liora telah menyapu industri yang dulu ia raja. Raka berdiri, tangannya gemetar, tapi ada rasa aneh di dadanya—takjub, takut, dan sedikit damai. Ruangan ini, dengan kursi yang memeluk, dinding yang berbisik, dan nama Lila AI, adalah bukti dunia telah berganti. Ia menatap Rian, lelaki muda yang tak tahu makna nama itu baginya, dan bertanya dalam hati, “Lila, apa kau ikut membangun ini dari sana?” Senyumnya tak hilang.

Asisten hologram muncul di sudut, wujud wanita transparan yang bicara lembut, “Laporan pasar siap, Pak Rian.” Rian mengangguk, tapi Raka tak mendengar. Ia terpaku pada nama itu—Lila AI, mesin yang gerakkan badai ini. Vila yang sunyi di luar kini penuh suara, dan Raka merasa kecil di tengah kebesaran yang asing. Ia hanya bisa melihat, dan kagum, pada dunia yang tak lagi miliknya.

Langkahnya pelan saat ia ke jendela, menatap hijau di luar yang kontras dengan teknologi di dalam. Rian bicara lagi, tentang lelang tren dan kain cerdas, tapi Raka tak sepenuhnya dengar. Pikirannya ke Semarang, ke malam bersama Lila, dan ke Arya yang entah di mana. “Lima tahun,” gumamnya, “dan tiga puluh lima tahunku habis.” Ia menoleh ke Rian, melihat bayang masa depan yang tak ia punya.

Rian menutup dengan senyum, “Lila AI bikin kami tak terhentikan, Pak.” Raka mengangguk, diam. Ia tahu, badai ini bukan hanya teknologi, tapi waktu—waktu yang ia lewatkan, dan waktu yang Rian rebut. Ruangan itu hening, tapi di hati Raka, nama Lila AI terus bergema, seperti angin membawa kenangan di tengah dunia baru.

10. Harap di Penyesalan

Raka kembali ke Jakarta dengan langkah yang terasa berat, seolah setiap pijakan kakinya tenggelam dalam lumpur penyesalan. Udara malam terasa dingin di penthouse-nya yang sunyi, tempat ia berdiri menatap kota yang tak pernah lelah. Di tangannya, ia memegang dokumen akuisisi—90% saham Santos Fashion kini dimiliki Liora Ventures, menyisakan 10% baginya. Kertas itu terasa seperti batu yang menekan dadanya, menandakan akhir dari kerajaan yang ia bangun selama 35 tahun. Cahaya lampu kota yang berkelip menyelinap melalui jendela, tapi tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin oleh rasa bersalah.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap foto digital Maya, almarhum istrinya, yang tersenyum lembut dari bingkai. Kenangan tentang janjinya kepada Maya kembali menyelinap di benaknya—janji bahwa Santos akan menjadi warisan untuk Arya, anak mereka. Kini, janji itu hancur. Ia merasa seperti pohon tua yang kehilangan daunnya, rapuh dan tak lagi kokoh. Penyesalan itu terasa semakin dalam saat ia memikirkan Arya, yang kini jauh di Singapura, mengejar mimpinya sendiri. Jarak di antara mereka terasa seperti lautan yang tak bisa diseberangi, dan Raka tahu, ia adalah penyebabnya.

Raka berjalan ke jendela besar, memandang lampu-lampu kota yang berkelip seperti bintang-bintang buatan. Di kejauhan, drone Liora Ventures melintas, logo mereka berkilau seperti pengingat akan kekalahannya. Pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu—tahun 2025, saat Arya mengusulkan penggunaan AI untuk Santos Fashion. Raka menolak, terlalu yakin bahwa cara lamanya cukup kuat. Intuisinya, yang selama 35 tahun menjadi senjata andalannya, kini terasa seperti pedang tumpul yang tak mampu menebas zaman. Kini, ia menyadari bahwa keangkuhannya telah merobohkan apa yang ia bangun.

Kenangan lain muncul: tahun 2026, saat Arya, yang masih muda dan penuh semangat, mencoba meyakinkannya. “Ayah, dunia berubah. Kita harus ikut berubah,” kata Arya, matanya penuh harap. Raka mengabaikannya, dan tak lama kemudian, Arya pergi. Jarak di antara mereka semakin lebar, seperti lautan yang tak bisa diseberangi. Raka merasa gagal, bukan hanya sebagai pebisnis, tetapi juga sebagai ayah. Ia merenung, jika saja ia mendengar Arya, mungkin Santos masih berdiri tegak, bukan reruntuhan yang kini ia pandangi.

Ia teringat kata-kata Rian di Sumba, yang kini bergema di kepalanya. “Teknologi bukan musuh, Pak Raka. Ia adalah alat baru untuk membaca dunia yang berubah.” Rian, dengan matanya yang penuh pemahaman, telah menunjukkan bagaimana AI dan analisis data bisa membaca tren fashion dengan akurasi yang tak tertandingi. Liora, dengan kecerdasan buatannya, mampu menganalisis data besar dari seluruh dunia, meramalkan tren, dan meresponsnya dalam sekejap. Sementara itu, Raka, dengan intuisinya yang telah teruji 35 tahun, merasa seperti kapal tua yang terombang-ambing di tengah lautan digital.

Raka menyadari bahwa intuisinya, yang dulu menjadi senjata andalannya, kini tak lagi cukup. Dunia fashion telah berubah—dari yang didorong oleh kreativitas manusia menjadi yang didorong oleh data dan algoritma. Liora, dengan kemampuannya mengolah data dari jutaan sumber, bisa memprediksi apa yang diinginkan konsumen sebelum mereka menyadarinya. Santos, dengan cara lamanya, tak bisa mengejar kecepatan itu. Raka merasa seperti pohon tua yang tersingkir oleh tunas-tunas baru yang lebih cepat tumbuh. Kekalahannya bukan hanya karena Liora, tetapi karena zaman yang telah meninggalkannya.

Di masa depan, teknologi akan semakin menguasai. AI tidak hanya akan membaca tren, tetapi juga menciptakannya—mengubah cara manusia berinteraksi dengan mode, dari desain hingga distribusi. Perusahaan-perusahaan yang tak mampu beradaptasi akan tenggelam, seperti kapal yang tak sanggup melawan arus. Raka mulai membayangkan dunia di mana desain pakaian dibuat oleh algoritma, di mana pola perilaku konsumen dipetakan dengan presisi, dan di mana kecepatan menjadi kunci utama. Ia merenung, apakah masih ada tempat bagi mereka yang setia pada cara lama, atau apakah mereka hanya akan menjadi monumen di museum sejarah?

Raka menatap langit malam, mencari jawaban dalam keheningan. Pikiran untuk pensiun mulai menggoda, tapi di dalam hatinya, ada secercah tekad kecil—mungkin masih ada cara untuk memperbaiki apa yang telah rusak, terutama dengan Arya. Meski lemah, tekad itu seperti daun terakhir yang bertahan di pohonnya. Ia membayangkan masa depan di mana manusia dan teknologi hidup berdampingan, di mana intuisi dan data saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan. Tapi, ia tahu, perjalanan itu tidak akan mudah.

Malam itu, Raka hanya bisa berdiri dalam hening, merasakan beban yang tak kunjung hilang, seperti pohon tua yang menanti badai berikutnya. Namun, di tengah keheningan itu, ia mulai memahami bahwa perubahan adalah satu-satunya konstanta, dan mereka yang bertahan adalah yang mampu menari mengikuti irama baru. Mungkin, ini bukan akhir, tetapi awal dari sesuatu yang baru—jika saja ia berani melangkah.

11. Meja Penyesalan

Raka Santoso melangkah masuk ke restoran mewah di jantung Jakarta Pusat, tempat yang dulu jadi saksi kejayaannya bersama para pengusaha fashion di masa lalu. Lantai marmer mengkilap memantulkan bayangan lampu gantung kristal yang bergoyang pelan, seperti bintang yang meredup di langit malam. Meja bundar sudah disiapkan, hidangan mahal tersaji rapi, namun udara terasa berat—tak ada denting gelas atau tawa yang dulu menghidupkan ruangan ini. Ia mengundang tiga teman lamanya, sesama pelaku bisnis fashion yang pernah menggenggam dunia di era 2020-an: Bima (57), Lestari (60), dan Taufik (55). Mereka datang dengan wajah seperti kain usang—kusut, penuh lipatan, dan kehilangan warna. Raka menatap mereka satu per satu, merasa seperti pohon jati tua yang berdiri di tengah reruntuhan hutan yang dulu rimbun.

Bima, yang dulu menguasai pasar streetwear dengan desain tangan penuh jiwa, menunduk menatap piringnya yang tak tersentuh. “Pasar sekarang cuma mau fast fashion dari micro-factories AI, Raka,” katanya, suaranya serak כמו benang yang tersangkut di mesin tua. “Desain gue yang penuh cerita nggak laku lagi—terlalu lambat buat Gen Z dan Alpha yang cuma pencet aplikasi, barang dateng sejam kemudian. Aku udah nyerah.” Raka mengangguk pelan, matanya memandang gelas anggur merah di tangannya, yang warnanya seakan mencerminkan darah bisnisnya yang perlahan mengering. Ia teringat Santos Apparel, studio live-nya yang kini mati, dan gudang penuh stok yang tak lagi diinginkan. Bima seperti cermin baginya—mereka sama-sama kalah oleh kecepatan yang tak bisa mereka kejar.

Lestari, perancang haute couture yang pernah jadi pujaan kalangan atas Jakarta, menggenggam serbetnya erat-erat, seperti menahan sesuatu yang ingin lepas. “Aku kalah sama NeuroStyle AI, Raka,” ujarnya dengan nada yang penuh kepasrahan, matanya berkaca-kaca seolah menyimpan lautan penyesalan. “Orang nggak mau lagi baju custom yang aku jahit sebulan—mereka pilih prediksi tren dari algoritma, langsung jadi di printer 3D. Aku cuma bisa serahin semua ke anakku; dia yang ngerti zaman ini.” Raka menatap Lestari, dan bayangan masa lalu melintas di benaknya—ia pernah menolak saran Mira untuk pakai AI canggih di Santos, yakin cara lamanya abadi. Kini, ia sadar bahwa Lestari dan dirinya seperti dua helai kain yang robek oleh jarum teknologi yang sama.

Taufik, yang dulu menghidupkan batik modern dengan motif penuh makna, menyandarkan punggungnya ke kursi, wajahnya lesu seperti daun yang layu di musim kemarau. “Drone antar cepat dari Liora Ventures bikin distribusiku mati, Raka,” katanya, suaranya rendah seperti bisikan angin di malam sepi. “Aku nggak bisa saingi kecepatan itu. Bahan alami yang aku pake—katun, sutra—jadi sia-sia; pelanggan pilih kain sintetis AI yang lebih murah.” Raka menelan ludah, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu perasaan itu—distribusi Santos yang lambat tak bisa melawan laju drone Liora, yang beterbangan seperti burung besi di langit Jakarta. Taufik, seperti dirinya, tersingkir oleh dunia yang tak lagi menghargai sentuhan manusia.

Malam merayap semakin dalam, dan dari jendela besar restoran, Raka menatap Jakarta 2030 yang tak pernah tidur. Lampu neon berkedip seperti mata ribuan robot, drone melayang bagai kunang-kunang mekanik, dan klakson mobil otonom menggema seperti detak jantung kota yang tak pernah lelah. Ketiga temannya—Bima, Lestari, dan Taufik—adalah potret dirinya sendiri: pengusaha berusia 55–60 tahun yang pernah bertahta di dunia fashion, kini tersapu oleh badai teknologi yang tak kenal ampun. Bima menyerah pada kecepatan AI, Lestari pada prediksi algoritma, dan Taufik pada distribusi modern. Raka seperti pohon tua yang dikelilingi tunggul-tunggul sebayanya, roboh bersama di tengah hutan yang telah berganti wajah.

Di tengah keheningan yang mencekik, Raka merenung dalam diam. Kata-kata Lestari tentang anaknya bergema di kepalanya seperti lonceng kecil di kejauhan: “Aku cuma bisa serahin ke anakku; dia yang ngerti zaman ini.” Tiba-tiba, wajah Arya muncul di benaknya—anaknya yang di 2026 memohon agar Santos merangkul AI, tapi ia usir dengan amarah membara. Kini, ia melihat bahwa apa yang ia alami bukan kesendirian, melainkan nasib bersama teman-temannya. Mereka semua terlambat membaca waktu, tapi harapan mungkin masih ada—di tangan generasi yang lahir dari mereka. Hatinya bergetar, seperti kain yang tiba-tiba disentuh angin sepoi, membawa secercah cahaya di ujung kegelapan.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Raka mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Cahaya layar menyelinap di wajahnya yang penuh kerutan, menerangi matanya yang basah oleh penyesalan dan harapan yang bercampur. Ia mengetik pesan singkat untuk Arya: “Besok Ayah ke Singapura. Ayah mau cerita tentang penjualan Santos dan lihat bisnismu di sana.” Jari-jarnya berhenti sejenak di atas tombol kirim, seolah menimbang berat keputusan itu, lalu ia tekan dengan mantap. Pesan terkirim, dan Raka mendongak ke langit malam di balik jendela. Jakarta 2030 bising dengan kehidupan baru, tapi di hatinya, ia merasa seperti pohon yang daunnya luruh—namun di bawahnya, sebuah tunas kecil mulai bertunas, menjulang menuju Singapura, menuju anaknya.

Pelayan datang membersihkan meja, dan Bima, Lestari, serta Taufik berpamitan dengan pelukan singkat yang penuh kelelahan. Raka berdiri sendirian di ambang pintu restoran, menatap bayangan dirinya di kaca. Ia bukan lagi raja fashion yang dulu, tapi malam ini ia menemukan sesuatu—kesadaran bahwa perjuangannya tak sendiri, dan bahwa Arya, anaknya, mungkin adalah jembatan menuju dunia yang tak lagi ia pahami. Langkahnya pelan meninggalkan restoran, tapi hatinya sedikit lebih ringan, seperti pohon tua yang tahu tunasnya sedang menanti di ufuk baru.

12: Kebenaran Di Singapura

Pagi di Jakarta 2030 masih gelap ketika Raka Santoso melangkah menuju bandara, membawa koper kecil dan hati yang penuh beban. Pesawat membawanya melintasi langit menuju Singapura, tempat yang sudah tiga kali ia kunjungi untuk bertemu Arya, anaknya—tapi kali ini berbeda. Sudah dua tahun ia tak melihat wajah Arya, dua tahun penuh keheningan yang menganga seperti jurang di antara mereka. Di bandara Changi, seorang pengemudi berjas hitam dengan mobil otonom hitam mengilap menjemputnya, memperkenalkan diri sebagai orang kepercayaan Arya. Raka duduk di kursi belakang, menatap jendela saat mobil meluncur mulus melalui jalan-jalan Singapura yang berkilau—gedung-gedung menjulang bagai pohon besi, dan langit dipenuhi drone yang berdengung seperti lebah masa depan. Hatinya bergetar, antara rindu dan rasa bersalah yang tak pernah usai.

Mobil berhenti di sebuah sudut kota paling elit, di depan menara kaca yang memantulkan sinar matahari seperti permata. Raka melangkah keluar, menatap kantor pusat Arya dengan decak kagum yang tak bisa disembunyikan. Bangunan ini mirip vila futuristik Rian di Sumba, namun lebih canggih—dindingnya bergerak seperti kulit hidup, dan pintu otomatis membukanya dengan suara halus. Di dalam, ia disambut oleh robot humanoid ramping yang menggantikan tugas sekretaris Santos masa lalunya; tak ada lagi senyum manusia atau suara ketikan, hanya dengung mesin dan lampu LED yang berkedip. Layar raksasa dan hologram memenuhi ruangan, menampilkan desain fashion yang berputar di udara, sementara hanya segelintir karyawan dengan kacamata VR dan laptop bekerja di ruang seluas lapangan. Raka seperti pohon tua yang tersesat di hutan teknologi, kagum sekaligus asing pada dunia yang dibangun anaknya.

Raka dipandu menuju ruang utama Arya di lantai teratas, sebuah ruangan dengan jendela panorama yang membingkai cakrawala Singapura. Arya berdiri di sana, tinggi dan tegap, mengenakan jas sederhana namun penuh wibawa, wajahnya mirip Raka di masa muda—mata tajam penuh mimpi. Raka memeluknya singkat, tercekat oleh rindu yang tiba-tiba menyesakkan dada, lalu duduk di kursi kulit di depan meja kaca. Ia mulai menceritakan detail penjualan saham Santos kepada Rian, suaranya bergetar saat menyebut nama Liora Ventures dan kehancuran studio live-nya. “Semua yang Ayah bangun selama 35 tahun, Arya, habis di tangan mereka,” katanya, menatap anaknya dengan mata penuh luka. Arya mendengarkan dalam diam, wajahnya tenang, tak tampak kaget—seolah ia sudah tahu akhir cerita itu sebelum kata pertama diucapkan.

Setelah Raka selesai, Arya menarik napas dalam, lalu berbicara dengan suara lembut namun tegas. “Ayah, Rian dulu klienku. Dia memanfaatkan engine AI yang aku ciptakan, dan Liora membayar royalti besar ke perusahaanku setiap tahun.” Raka terpaku, mulutnya terbuka seperti daun yang tiba-tiba disentuh angin kencang. Arya melanjutkan, “Waktu aku masih di Santos, aku kembangkan sistem AI canggih untuk fashion—harusnya buat kita, Ayah. Tapi Ayah selalu bilang itu buang waktu.” Raka teringat 2026, saat ia membentak Arya dan menyuruhnya diam tentang “mainan teknologi” itu. “Aku lanjutin sendiri, Ayah,” kata Arya, “dan AI itu sekarang dipakai perusahaan fashion ternama di seluruh dunia. Fashion cuma satu produkku—perusahaanku lebih besar dari yang Ayah bayangkan.” Raka menatap anaknya, kagum bercampur sesal, seperti pohon tua yang melihat tunasnya menjulang lebih tinggi dari dahan-dahannya.

Arya bangkit, berjalan ke jendela, dan menatap kota di bawah. “Dua tahun lalu, aku tahu Liora ancam Santos. Jadi aku akusisi mereka—Liora sekarang anak perusahaanku. Rian nggak tahu Santos milik ayahku—aku sengaja sembunyikan itu darinya.” Raka tersentak, jantungnya berdetak kencang seperti drum yang dipukul badai; Rian, yang ia temui di Sumba, tak pernah tahu bahwa ia sedang bernegosiasi dengan ayah dari pemilik sejati Liora. “Aku biarkan dia beli saham Santos, Ayah,” lanjut Arya, “karena aku tahu cara lama Santos nggak akan bertahan, dan aku nggak mau Ayah lihat akhirnya sendiri.” Raka menatap lantai, kepalanya penuh kilatan—rahasia yang disimpan Arya seperti benang halus yang kini terurai, menunjukkan betapa dalamnya anaknya melindungi dan melampaui dirinya.

Ruangan terasa hening, hanya suara dengung halus dari hologram di sudut. Raka berdiri, langkahnya berat menuju Arya, dan tiba-tiba air matanya jatuh—air mata yang selama ini ia tahan di penthouse Jakarta. “Arya, maafkan Ayah,” katanya, suaranya pecah seperti kaca yang retak. “Ayah salah—dulu Ayah nggak dengerin kamu, nggak percaya kamu. Ayah kira Santos abadi, tapi aku yang bodoh.” Arya melangkah mendekat, memeluk ayahnya erat, dan bisiknya terdengar di antara isak, “Ayah, maafin aku juga. Aku pergi, ninggalin Ayah sendirian. Tapi semua yang aku capai—ini karena Ayah dan Ibu. Nasehat kalian, didikan kalian, yang bikin aku berdiri di sini.” Pelukan itu hangat, seperti akar yang kembali menyatu setelah lama terpisah.

Raka menarik diri, menatap wajah Arya dengan mata basah namun penuh cahaya. Ia melihat anaknya bukan lagi bocah yang dulu ia ajari mengikat tali sepatu, tapi lelaki yang melampaui mimpinya sendiri. “Ayah bangga, Arya,” katanya, suaranya parau namun teguh. “Kamu lebih hebat dari Ayah—jauh lebih hebat.” Arya tersenyum kecil, menggenggam tangan ayahnya, “Ayah yang ajarin aku bertahan, meski dunia jungkir balik. Aku cuma lanjutin apa yang Ayah mulai.” Mereka berdiri bersama di depan jendela, menatap Singapura yang berkilau—ayah dan anak, dua pohon yang pernah tercerai, kini berteduh di bawah langit yang sama.

Di sudut ruangan, sebuah hologram kecil memutar desain fashion terbaru Liora, tapi Raka tak lagi memperhatikannya. Pikirannya penuh dengan kilatan masa lalu—saat ia menggendong Arya kecil di studio Santos, saat ia marah dan mengusir anaknya di 2026, dan kini, saat ia berdiri di tengah keajaiban yang dibangun Arya. Ia teringat almarhum istrinya, Lila, yang selalu bilang, “Arya bakal jadi lebih besar dari kita, Raka. Percaya sama dia.” Kini, kata-kata itu terbukti, dan Raka merasa Lila tersenyum dari langit, menyaksikan mereka bersatu kembali. Hatinya penuh—penuh penyesalan yang perlahan sirna, diganti kebanggaan yang membakar seperti matahari pagi.

Arya mengajak Raka duduk lagi, menuang teh hangat dari teko otomatis di meja. “Ayah, Liora cuma permulaan. Aku punya rencana lebih besar—AI nggak cuma buat fashion, tapi buat hidup manusia,” katanya, matanya berbinar seperti bintang di malam cerah. Raka mendengarkan, takjub pada visi anaknya, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa damai. Ia tak lagi meratapi Santos yang hilang, karena di depannya berdiri warisan yang lebih hidup—Arya, anaknya, yang membawa nama mereka melintasi waktu. Ruangan itu terasa hangat, bukan karena teknologi di sekitarnya, tapi karena ikatan yang kembali terjalin, lebih kuat dari sebelumnya.

Hari mulai sore, dan sinar matahari menerobos jendela, menyentuh wajah Raka dan Arya yang masih berbincang. Raka tersenyum kecil, tangannya menggenggam cangkir teh, dan berkata dalam hati, “Lila, anak kita luar biasa. Aku salah, tapi dia bikin semuanya benar lagi.” Di luar, Singapura terus berdenyut dengan kehidupan futuristik, tapi di dalam ruangan ini, waktu seakan berhenti—hanya ada ayah dan anak, dua hati yang saling memaafkan, dan sebuah cerita yang akhirnya menemukan cahayanya. Seperti pohon tua yang tahu tunasnya telah menembus langit, Raka merasa cukup—cukup untuk melepaskan masa lalu, dan cukup untuk memeluk masa depan yang dibangun anaknya.

13: Cahaya Di Makam Lila

Raka Santoso berdiri di depan nisan sederhana di sebuah bukit kecil di Semarang, kota kelahirannya, tempat Lila, cinta abadinya, beristirahat dalam damai. Angin sepoi membawa aroma tanah basah dan melati yang ia letakkan di atas batu nisan bertulis “Lila Santoso, 1975–2020”. Sepuluh tahun telah berlalu sejak Lila meninggalkannya, namun Raka tak pernah menikah lagi—tak ada wanita yang bisa menggantikan sosok Lila, gadis Semarang yang ia temui di tepi Sungai Banjir Kanal saat mereka masih muda. Mereka lahir dan besar di kota ini, menikah di bawah pohon beringin tua di halaman rumah tua, lalu pindah ke Jakarta setelah Arya lahir, membawa mimpi besar di hati mereka. Kini, menatap nisan itu, Raka berbisik, “Lila, kamu bikin aku pulang ke Semarang lagi, dan lihat—anak kita jadi kebanggaan kita.”

Raka menunduk, air matanya jatuh ke tanah Semarang yang dulu jadi saksi cinta mereka. Ia teringat malam-malam di rumah kayu sederhana di Semarang, saat Lila duduk bersamanya di meja kecil, menjahit kain sambil ia merancang sketsa pertama Santos Fashion. “Raka, kita mulai dari nol, tapi aku percaya kamu bisa bikin sesuatu yang besar,” kata Lila kala itu, matanya berbinar seperti lampion di malam pasar. Dengan tangan lembut, Lila membantu Raka membangun Santos—menggunting pola saat ia kelelahan, menyemangatinya saat pesanan pertama ditolak, dan tersenyum sabar saat Raka pulang larut dengan wajah penuh keringat. “Kamu pohonnya, aku akarnya,” ujar Lila pernah, dan dari cinta serta kesabaran itulah Santos tumbuh, membawa mereka ke Jakarta, ke dunia yang lebih luas—sampai waktu merenggut Lila terlalu cepat.

Langit Semarang cerah perlahan, sinar matahari menyelinap di antara pepohonan, tapi Raka masih terpaku di depan nisan. Ia teringat pertemuan dengan Arya di Singapura kemarin—bagaimana anaknya membangun Lika Corps, kekaisaran teknologi yang jauh melampaui Santos, dan bagaimana Lila telah menanam benih kebijaksanaan di hati Arya. “Di tengah dunia yang penuh layar dan mesin, Lila, kamu ajarin Arya soal hati,” katanya pada nisan itu, suaranya parau. Ia tersenyum kecil, mengingat kutipan Lila yang sederhana namun dalam, “Teknologi boleh terbang ke langit, tapi cinta yang bikin kita tetap berdiri di bumi.” Kini, Arya membuktikan itu—Lika Corps mendunia di 2030, tapi penuh hangat kemanusiaan yang lahir dari didikan Lila di rumah kayu Semarang dulu.

Raka menarik napas panjang, sesak di dadanya perlahan mencair. Ia memandang ke arah kota Semarang di kejauhan—jembatan modern dan drone kini menghias langit, tapi bukit ini tetap sunyi, menyimpan kenangan cinta mereka. “Aku salah, Lila. Aku kira Santos adalah segalanya, tapi Arya yang jadi pohon kita,” katanya, matanya basah namun penuh damai. Ia teringat kata-kata bijak Lila lainnya, “Lepaskan apa yang kamu pegang, Raka, kalau itu bikin anak kita tumbuh lebih tinggi.” Kini, setelah Santos lenyap, setelah ia menyerahkan sahamnya kepada Rian tanpa tahu itu rencana Arya, Raka memutuskan pensiun. Ia ingin duduk di tepi Pantai Marina Semarang, mendengar ombak, dan menutup hidupnya dengan tenang, tahu Arya telah melampaui mimpinya—mimpi yang dulu ia dan Lila rajut bersama di meja kecil.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar di rumput basah. Raka menoleh, dan Arya berdiri di sana, jas hitamnya berkibar tertiup angin, wajahnya penuh rindu dan hormat. “Ayah, saya menduga Ayah akan datang ke sini terlebih dahulu,” kata Arya dengan lembut, lalu berlutut di samping nisan ibunya, tangannya menyentuh batu itu dengan cinta. Raka memandang anaknya, dan air mata mengalir lagi—kebanggaan membuncah seperti Sungai Banjir Kanal di musim hujan. “Arya, Ayah mau pensiun,” kata Raka, suaranya teguh namun hangat. “Kamu sudah membangun sesuatu yang jauh lebih besar dari Santos—dari mimpi Ayah dan Ibu. Ayah merasa cukup sampai di sini.” Arya menatapnya, matanya berkaca-kaca, lalu memeluk ayahnya erat, seperti anak kecil yang dulu ia gendong di bahunya di pasar Semarang.

“Ayah, mohon jangan pensiun sepenuhnya,” kata Arya, suaranya penuh hormat meski bergetar oleh emosi. “Saya masih membutuhkan Ayah—pengalaman Ayah, kebijaksanaan Ayah. Lika Corps memerlukan komisaris utama, dan itu hanya bisa Ayah.” Raka tersentak, menatap anaknya dengan mata terbelalak. “Lika Corps?” tanyanya, suaranya hampir hilang di tengah angin. Arya tersenyum, “Lila dan Raka—nama Ayah dan Ibu. Saya mendirikan perusahaan ini untuk mengabadikan cinta Ayah dan Ibu dalam hidup saya. Ini lebih dari sekadar mimpi Ayah—ini adalah visi kita bertiga.” Raka terdiam, jantungnya bergetar seperti daun beringin tua yang disentuh angin Semarang. Nama Lila, wanita yang ia cintai dengan seluruh jiwa, dan namanya kini terpahat di puncak dunia 2030—Lika Corps, kekaisaran teknologi Arya yang mendunia, lahir dari cinta mereka di kota ini.

Pelukan mereka berlangsung lama, di tengah bukit yang sunyi, jauh dari bising drone dan layar futuristik. Raka merasa seperti pohon tua yang berteduh di bawah tunasnya, tapi tunas itu tak membiarkannya layu—malah mengajaknya berdiri bersama. “Arya, kamu membuat Ayah percaya lagi,” katanya pelan, “percaya bahwa cinta lebih kuat dari segalanya—mesin, waktu, bahkan kematian.” Arya mengangguk, “Itulah yang Ibu ajarkan kepada saya di Semarang dulu, Ayah. Dan Ayah yang memberikan kekuatan kepada saya untuk mewujudkannya.” Mereka berdiri berdampingan, menatap nisan Lila, dan Raka merasa ada kehangatan di udara—senyum Lila yang menyaksikan mereka dari langit, dari kenangan rumah kayu tempat Santos pertama kali bermimpi.

Sinar matahari kini penuh menerangi bukit, membentuk bayangan panjang Raka dan Arya di atas rumput. Raka menggenggam tangan anaknya, berkata, “Baiklah, Arya. Ayah akan menjadi komisaris utamamu. Tapi setelah ini, Ayah hanya ingin duduk di tepi Pantai Marina, bercerita kepada Ibu tentangmu.” Arya tersenyum hormat, air matanya jatuh, “Ayah boleh mengunjungi pantai kapan saja, tetapi Lika Corps masih membutuhkan Ayah untuk sementara waktu.” Raka tersenyum, damai menyelimuti hatinya seperti ombak Semarang yang dulu ia dan Lila dengarkan bersama. Pensiunnya tak lagi tentang perpisahan, tapi tentang menyaksikan warisan cinta yang ia rajut bersama Lila—wanita yang dengan sabar membantunya membangun Santos—tumbuh lebih besar dari langit.

Di kejauhan, Semarang 2030 berdenyut dengan teknologi baru, tapi di bukit ini, Raka dan Arya berdiri di akar kenangan mereka. Raka menatap nisan Lila sekali lagi, berbisik, “Lila, kamu bantu aku bangun Santos dari nol, dan sekarang anak kita bawa nama kita ke dunia. Kita berhasil.” Ia lalu berjalan bersama Arya meninggalkan makam, langkahnya ringan seperti kain yang terlepas dari gulungan, hatinya penuh kebanggaan dan cinta. Dunia futuristik terus berputar, tapi di antara mesin dan layar, Raka dan Arya membuktikan bahwa cinta—cinta Lila yang sabar, cinta mereka bertiga—adalah benang yang tak pernah putus.

Novel ini berakhir di sini, dengan Raka menemukan kedamaian di sisi Arya, di bawah nama Lika Corps yang mengabadikan cinta Semarang-nya bersama Lila. “Cinta itu seperti sungai, Arya,” kata Raka pelan, “mengalir diam, tapi mengukir lembah yang abadi.” Arya mengangguk penuh hormat, dan bersama, mereka melangkah dari bukit menuju masa depan—satu langkah yang penuh makna, di ujung bayang-bayang yang akhirnya bertemu cahaya.

Ebook SamDK

About The Author

SamDK

Bagi saya menulis merupakan bagian dari proses pembelajaran. Orang belajar biasanya akan membuat catatan-catatan bagi dirinya sendiri. Blog ini, sesungguhnya merupakan “catatan pribadi” yang kadang bersumber dari pengalaman pribadi atau sekedar meresume sebuah buku yang sedang dibaca agar tak lupa. Seperti quote favorit saya dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.

1 Comments #Novel The Last CEO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *