Melihat Berbeda Dengan Melakukan

DR Mark Rosenzweig dari California University, Berkeley, melakukan percobaan stimuli pada tikus. Tikus-tikus ini dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Kelompok pertama, tikus-tikus ditempatkan di lingkungan tanpa rintangan, atau disebut “lingkungan yang dimiskinkan” atau “tanpa masalah”, bisa dikatakan tanpa stimuli, hanya ada makanan dan air.
2. Kelompok kedua, tikus-tikus ditempatkan di lingkungan penuh stimuli atau “penuh masalah”, misalnya tangga, roda putar, bola, dan berbagai benda lainnya
3. kelompok ketiga, tikus-tikus ditempatkan pada posisi dapat melihat kelompok tikus yang “penuh masalah” tersebut, tetapi tikus-tikus ini berada dalam lingkungan “tanpa masalah”.

Apa hasilnya?

1. Tikus yang tumbuh di lingkungan kaya stimulus ternyata lebih baik dalam memecahkan masalah, menemukan lorong-lorong yang menyesatkan, dsb.
2. Otak tikus yang ada di lingkungan penuh stimulus kemudian dibedah, diukur cerebral corex yang mengontrol penyimpanan memori dan pemrosesan informasi. Ternyata korteks tikus di lingkungan no-2 tersebut lebih tebal, sel saraf telah bercabang dan membentuk lebih banyak hubungan.
3. Sedangkan kelompok tikus yang dibiarkan melihat kelompok tikus yang diperkaya, tetapi tidak berinteraksi langsung, ternyata tidak memberi manfaat sama sekali. melihat berbeda dengan melakukan. Agar stimulus dapat benar-benar berdampak posistif bagi otak, sebaiknya kita harus berinteraksi langsung dengan stimulus tersebut.

Adanya stimuli (baca:masalah) sesungguhnya merupakan stimulus yang baik bagi otak, sehingga mereka saling terkoneksi. Karena semakin banyak koneksi yang dihasilkan, kekuatan otak akan semakin baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *